Oleh : DHARMA SETYAWAN
Mahasiswa
Sekolah Pascasarjana
Universitas
Gadjah Mada
Tahun 1925 Haji Agus Salim tinggal di rumah sempit di Gang
Tanah Tinggi, Jakarta. Dari asrama Stovia
di gang Lewini ke Tanah Tinggi di tempuh selama 10 menit naik sepeda kala itu
Muh. Roem, Kasman San Soeparno sebagai aktivis Jong Islamiten Bond (JIB). Samsuridjal mendirikan JIB dengan
penasehatnya adalah Haji Agus Salim. Kasman dan Soeparno adalah pengurus JIB
cabang Jakarta. Menuju rumah Haji Agus Salim kala itu jalan yang di aspal hanya
sampai stasiun Senen, seterusnya jalan tanah berlubang-lubang. Jalan yang
mereka lewati sangat becek dengan tanah susah dilalui sepeda ibarat naik perahu
di atas air yang berombak. Para pemuda-pemuda JIB saat itu memang sangat rajin
berkunjung ke tempat Haji Agus Salim untuk kursus ilmu-ilmu agama Islam.
Sebagai seorang Ulama, sastrawan, aktifis Sarekat Islam, Singa Podium dan mampu
bermacam bahasa, Agus Salim sangat dihormati sebagai sosok yang pantas mendidik
anak-anak muda saat itu.
“Haji Agus Salim kami jumpai duduk di serambi dan menyambut
kami dengan ramah. Sikapnya sangat menarik. Sesudah bersalaman, ia mulai bicara
yang ditujukan kepada Kasman “Hari ini anda datang secara biasa. Kemarin peranan
sepeda dan manusia terbalik”. Saya tahu, kemaren Kasman datang sendiri. Dan dia
melihat saya dan Soeparno tidak mengerti apa yang dibicarakan, lantas
menjelaskan “Kemarin saya datang, dan ditunggangi sepeda, bukan saya yang
menunggangi sepeda”. Kemarin dia di tengah jalan dikejar hujan, dan mengalami
nasib yang diceritakan Agus Salim. Tanah liat yang setengah basah melekat pada
roda sepedanya dan tak dapat berputar sama sekali. Kasman menyambung,” dan
kemarin saya katakan, jalan pemimpin bukan jalan mudah. Memimpin adalah
menderita. (Roem dalam ceritanya mengenai Haji Agus Salim).[1]
Dalam penjelasan Roem apa yang dikatakan Kasman adalah
ungkapan sastra yang jika diartikan dalam bahasa Belanda yaitu : Leiden
(memimpin) dan Lijden (menderita). Dan Kasman berkata “Een leidersweg is een
lij densweg. Leiden is lijden”. Sosok menderita disini adalah pilihan bukan
keterpaksaan. Sebuah kesadaran untuk mau menerima risiko yang dihadapi seorang
pemimpin dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada setiap
perjuangannya. Roem sangat merasakan betul sosok Agus Salim yang harus setiap
hari mengalami kesulitan mobilisasi untuk pergi dan pulang ke rumahnya yang
sangat sederhana dan jalan sempit itu tidak saja meninggalkan kepayahan tapi sepeda yang sudah tidak bisa diajak
kompromi untuk berjalan akibat ban yang terlilit tanah liat itu harus berbalik
di atas untuk menunggangi tubuh kecilnya.
Agus Salim sudah terbiasa dengan kondisi itu, jadi sangat
mengerti kesusahan Kasman saat menuju rumahnya, karena sebelumnya Kasman hadir
pada kondisi hujan. Agus Salim merasakan ditunggangi sepeda sejak awal tinggal
dirumah kecil yang beliau kontrak di gang sempit itu. Saat hujan Agus Salim
sangat tahu kapan sepedanya harus menjadi raja, dan saat terang sepeda itu
bergantian melayani tubuh kecil Agus Salim.
Agus Salim yang terkenal dengan orasinya di forum-forum
nasional menganggap biasa saja jika dirinya kala hujan harus ditunggangi
sepeda. Sepeda yang sudah macet karena lumpur itu tidak mau lagi mengayuh jarak
untuk menuju rumah kecilnya. Jalanan yang becek dan melilit ban sepeda itu
digantikan dengan kaki pendeknya yang menjadi pengganti tunggangan sepeda. Bagi
Roem, Kasman dan Soeparno yang kepayahan menuju kediaman Agus Salim sangat tahu
benar bagaimana kesusahan Agus Salim selama ini ketika musim hujan tiba. Leiden
is Lijden memimpin adalah menderita.
Seorang tokoh yang begitu dikagumi anak-anak muda saat itu, pemuda
yang tergabung dalam JIB, juga memahami bahwa Agus Salim telah terbiasa
dengan kondisi jalan sempit yang pasti telah dilalui oleh Agus Salim setiap
hari. Roem sejak awal sangat mengagumi sosok Agus Salim dengan namanya yang
sering disebut-sebut para aktivis saat itu. Pertemuan pertamanya dengan Agus
Salim membawa kesan yang mendalam bahwa memimpin adalah menderita bukan hanya
pada cerita sepeda. Sikap sederhana Agus Salim, Rumah yang kecil, keluarga yang
ramah, dan anak-anaknya yang tidak sekolah tapi pandai berbahasa. Menjadi daya
tarik tersendiri bagi Roem. Agus salim
menjadi pribadi yang disukai dan dikagumi bagi pemuda-pemuda. Mereka sangat
antusias belajar ilmu dan berdiskusi kepadanya dan melupakan kondisi yang ada
pada kehidupan Agus Salim sendiri.
Agus Salim yang dilahirkan sejak kecil dari orang yang cukup
berada Ayahnya Kepala Jaksa di Riau, dan Agus Salim menerima didikan Belanda, dengan kecilnya dirawat oleh orang Belanda dan
pernah bekerja untuk menjadi mata-mata Belanda dengan gaji yang cukup besar.
Kemewahan itu ditinggalkannya atas dasar prinsip kecintaannya terhadap
Indonesia. Agus Salim kemudian bergabung dengan Sarekat Islam Hos Tjokroaminoto
dan menjadi anggota yang sangat militan di dalamnya. Hidup mewah bagi Agus
Salim bukanlah hal yang asing ditemui Agus Salim sejak kecil sampai bekerja
menjadi intel Belanda. Sejak pulang dari Mekkah dan menguasai ilmu Agama Islam
dan banyak bahasa, pribadi Agus Salim
tegas soal harga diri bangsanya yang harus di mulai dengan kemandirian pribumi.
Agus Salim juga tidak pernah merasa kecil hati, pribadi yang
miskin itu tetap saja tidak berubah cara sikap tegasnya terhadap imperalisme
dan kolonialisme. Terbukti dengan minimnya keberanian manusia pribumi saat itu,
sosok Agus Salim tetap saja ramai dikunjungi para pemuda dan terus menjadi sosok
guru peradaban bagi pemuda saat itu. Keberanian Agus Salim dengan sikapnya yang
tanpa basa basi memang sangat memberi nyali bagi para pemuda JIB untuk menjadi
petarung dengan segala keterbatasan. Mereka sedikit demi sedikit mengokohkan
diri dalam narasi intelektual dan mensetarakan diri untuk duduk sama rendah
berdiri sama tinggi dihadapan para penjajah. Melawan dan terus melawan!
Benar kata Pramoedya Ananta Toer “Kalau mati, dengan berani,
kalau hidup, hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada…itulah sebabnya
setiap bangsa asing bisa jajah kita”.
0 komentar