(Refleksi hari Ibu 22 Desember)
Oleh : DHARMA SETYAWAN
Ketua Komunitas Hijau
Hadirnya kota tidak
ada yang memprediksi, kapan kota itu lahir di tengah masyarakat? Asal muasal
kota hampir tidak ada yang menjelaskan secara final. Namun sejarawan seperti Luis
Mumford menyatakan bahwa lahirnya kota adalah sebuah misteri. Teori-teori
yang ada, menyatakan secara sebagian-sebagian bahwa kota merupakan evolusi dari
sebuah tatanan masyarakat desa yang melakukan urban pada struktur wilayah yang
memiliki magnet ekonomi yang berpotensi. Luis Mumford berteori bahwa
kelahiran sebuah kota merupakan produk evolusi sejarah yang panjang.
Arnold Toynbee menyatakan bahwa sebuah kota terbentuk karena
adanya kaum minoritas kreatif (creative minority) yang menggerakkan kota
itu. Max Weber lah yang mengungkapkan lebih panjang bahwa kota dibentuk
oleh proses perkembangan kapitalisme dan merkantilisme, khususnya dalam bentuk
transaksi-transaksi perdagangan, proses ekspor impor, hingga pembentukan
system perbankan dan keuangan. Pandangan Max Weber lebih gamblang bahwa
lahirnya kota adalah bentuk persinggungan antara gesekan-gesekan ekonomi dan
politik yeng terjadi pada sebuah daerah.
Evolusi Kota dan
Kejahatan Kriminal
Kota sebagai bagian
tranformasi pra-megapolitan adalah bentuk keangkuhan struktur wilayah yang
paling banyak merusak ekologis. Kota terlalu sombong untuk memberikan rasa
nyaman bagi semua pihak yang mendiami wilayah tersebut. Di Jakarta sendiri
sebagai kota atau megapolitan terbesar di Indonesia, sampai hari ini terus
menuai polemik dan bencana, mulai dari macet, sampah, banjir dan yang paling
membuat resah adalah bentuk fenomena kriminal. Jakarta yang awalnya hanya
sebuah desa kecil yang disebut sebagai bandar Sunda Kelapa, abad ke-17 hanyalah
kawasan biasa. Namun ketika tahun 1602 Belanda datang Sunda kelapa merubah
menjadi Batavia. Kemudian Belanda membentuk Verenigde Ostindische Compagnie (VOC)
dan menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan internasional yang berkumpul
pedagang dari penjuru dunia termasuk Cina, Arab dan Eropa. (Moerdiman
Reksomarnoto : 2006)
Kemudian pasca kemerdekaan
nama Jakarta lebih dikenal dan menjadi Ibukota Indonesia. Perkembangan kota Jakarta
seluas 661,62 km² telah sesak dipenuhi manusia. Penduduk yang menghuni lebih
dari 9 juta jiwa menimbulkan resiko ekologis.
Kasus pemerkosaan di Ibukota Jakarta dan kota-kota lainnya semakin hari
kian marak. Jakarta dan kota-kota lainnya semakin hari menjadi portofolio
kejahatan yang ada di indonesia. Modus-modus kejahatan di Ibukota bahkan sering
ditampilkan di layar televisi sebagai bentuk pendidikan kriminal yang dapat
diterapkan di kota-kota lainnya. Bentuk kriminal seperti pencopetan, hipnotis,
asusila, pemerkosaan, bunuh diri, perampokan dan lainnya sukses di budidayakan
di kota sampai mempengaruhi wilayah pelosok desa.
Istilah “sejahat-jahat
Ibu tiri tidak sejahat Ibukota” mungkin ada benarnya. Disamping masalah di
atas Ibukota sangat tidak ramah kepada para Ibu. Tindakan kriminal, yang fokus
korbannya para Ibu semakin meningkat. Contoh kejahatan adalah kejadian
pemerkosaan di dalam mobil angkot yang dilakukan oleh sopir dan dua orang
kawannya. Seorang Ibu pedagang sayur diperkosa di dalam angkot, pemerkosaan itu
terjadi di waktu pagi setelah subuh ketika Ibu pedagang sayur tersebut hendak
berangkat menuju pasar. Supir dan dua
rekannya yang sedang mabuk tega
memperkosa Ibu yang memiliki dua anak tersebut dengan kondisi mobil angkot yang
berjalan berputar-putar di seputaran jalan. Tragisnya setelah diperkosa, Ibu
pedagang sayur tersebut di buang di sebuah kawasan dengan uang dirampas oleh si
pemerkosa tersebut.
Kejahatan terhadap
Ibu juga kerap terjadi di kota-kota besar lainnya. Dimana Ibu mendapatkan
bentuk kejahatan kriminal lainyya.
Selain itu kekerasan dalam bentuk fisik banyak juga dilakukan oleh suami. Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi tontonan setiap hari. Kota semakin menegaskan
dirinya sebagai wilayah kriminal karena permasalahan ekonomi yang menghimpit
masyarakat kota. Kota semakin tidak ramah dengan selalu menebar kejahatan teror
bagi siapapun. Kejahatan terus berkeliaran menebarkan aroma buruk dan mengancam
siapapun tidak terkecuali para ibu-ibu. Kota lebih menunjukkan gejala
nir-sosial yang sangat tinggi. Pragmatisme, apatisme, hedonisme dan
sifat individualisme yang menjadi penyebab mengikisnya rasa kepedulian.
Ibu Kota menuju Kota Ibu
Ibukota seperti
Jakarta dan ibukota di propinsi-propinsi lainnya perlu membangun narasi baru
bagi kehidupan demokrasi. Gaung tentang perhargaan terhadap HAM yang
dikampanyekan berbagai pihak tidak cukup untuk melindungi manusia dari bentuk
kejahatan kota. Efek pengangguran, ketimpangan ekonomi, korupsi elit pemimpin,
bobroknya birokrasi dan maraknya media pro pornografi semakin menambah panjang
daftar masalah yang dihadapi masyarakat kota.
Kota juga perlu
memberi aturan tegas bagi siapapun penjahat dan calon korban yang saling
memberi umpan. Kasus demo yang menolak pendapat Fauzi Bowo terkait dengan Rok
mini, sialnya malah mendapat ruang tempat untuk dikecam publik. Atas nama
kebebasan para pendemo menyatakan dalam poster-poster kecaman bahwa “bukan
salah rok kami yang mini tapi otak kalian yang mini” adalah kebebasan yang
tidak bertanggung jawab. Atas nama kebebasan kerap menjadi alasan segelintir
pihak untuk mempolitisi masalah atau menjatuhkan segelintir elit dalam
perebutan kuasa.
Jika kemudian
kebebasan menjadi dalih bentuk kebebasan pakaian, maka semestinya mereka juga
menghargai kebebasan pemimpin untuk menyampaikan pendapat dalam mencari solusi pencegahan
atas kasus pemerkosaan yang setiap hari hampir terjadi di Indonesia. Kota tetap
membutuhkan aturan yang jelas menyangkut keamanan dan kenyamanan semua pihak
agar keadaan kota menjadi tertib. Ibu seharusnya dihargai sebagai manusia yang
paling berjasa dalam bentuk kodrat manusia tumbuh dan berproses. Jika calon
para Ibu dimanfaatkan untuk demo kebebasan demi kepentingan politis maka hal
ini sudah melanggar Hak Asasi Manusia untuk mendapatkan rasa aman.
Pemimpin yang
memberi aturan tegas dan hukuman bagi kejahatan kriminal perlu di dorong oleh
semua pihak agar kejahatan tidak terjadi terus-menerus. Kita semakin lelah atas
nama kebebasan dan demokrasi semua bentuk kejahatan tersebut sangat tumpul
untuk dihilangkan. Regulasi, Pendidikan, Spiritual dan segala bentuk local
genius harus dikembalikan untuk mengobati kota yang semakin angkuh dan
penuh kepentingan. Jika tidak maka Kota
dalam prediksi masa depan sepertinya tetap menjadi tempat yang tidak nyaman bagi
kehidupan manusia. Akibat budaya saling mengkapitalisasi aset dan hilangnya
keramahan humanisme kota. Keadaan tersebut akan tetap menjadikan kota
sebagai ancaman sampai kapanpun. Bahkan Kota akan mengembalikan keadaan manusia
seperti zaman purba, dimana manusia kembali mengalami bentuk siklus homo
homini lupus (manusia yang saling memangsa).
Kebebasan yang
digaungkan segelintir pihak seharusnya
menimbang rasa tanggungjawab. Apalah arti kebebebasan jika kita hidup di bawah
bayang-bayang kriminal. Ibu dan masa depan generasi harus dilindungi bukan
dengan kebebasan. Calon ibu harus dididik dengan baik agar melahirkan generasi
yang tidak hanya ber-quantitas tapi harus generasi yang ber-qualitas.
Indonesia dan kebebasan demokrasi pasti akan sangat menghargai dengan syarat
kebebasan yang bertangggungjawab.
Sebagaimana pepatah arab menyatakan “Hurriyatu almar’i mahduudatun bi
hurriyati ghoirihi “ (bahwa kebebasan seseorang terbatas oleh kebebasan orang
yang lainnya). Semoga Ibukota mampu membangun Kota Ibu yang berkualitas!
0 komentar