Oleh : DHARMA SETYAWAN[1]
Ketua Komunitas Hijau Lampung
Pembantaian terhadap
manusia seperti yang terjadi di Mesuji, Lampung dan Sumatra Selatan muncul di negeri ini. Seperti yang dilaporkan Reporter
Metro TV (19/ 12/2011) Desi Fitriani, sejumlah barang bukti yang ada di video
kekerasan itu masih terdapat di lokasi, seperti mobil, tiang listrik, dan
gudang tempat mayat terkapar. Kesemua barang bukti masih sama seperti di
rekaman.Warga mengaku, insiden itu dipicu ulah pamswakarsa yang dibayar PT
Sumber Wangi Alam (SWA). Awalnya, pamswakarsa menangkap dua petani yang tengah
memanen kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit yang menjadi lahan sengketa PT
SWA dengan warga.
Pamswakarsa kemudian
membunuh dan memenggal kedua petani bernama Indra Safei (16) dan Saktu Macan
(17). Warga pun berang. Mereka kemudian melakukan pembalasan dengan
mengobrak-abrik PT SWA dan membunuh lima karyawan serta memenggal dua petugas
pamswakarsa, lantas menggantungkan tubuhnya di tiang. Pada April 2011 di Desa
Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Kejadian
ini menewaskan tujuh orang, yakni dua orang penduduk dan lima orang dari
pengamanan swakarsa PT Sumber Wangi Alam. Satu bentrokan yang telah diselidiki
Komnas terjadi di lahan PT Silva Inhutani di Kecamatan Mesuji Timur, Kabupaten
Mesuji, Lampung, pada November 2011. Seorang petani tewas dalam peristiwa ini.
Tapi perlu dipastikan apakah video aksi sadistis yang kini beredar luas itu
merupakan rekaman dari dua peristiwa tersebut.
Kronik Konflik
Kelas
Konflik kelas dan
perdebatan panjang tentang Hegemoni antar kelas memang selalu muncul dan
berulang-ulang. Konflik klasik yang membuncah dalam sejarah kelas merunut pada generasi
Marx-Lenin-Gramsci. Dalam The Communist Manifesto negara hanya
digambarkan sebagai alat dominasi kelas, ‘tidak lain kecuali sebagai badan yang
mengatur masalah-masalah umum kaum borjuis’. Namun dilain pihak dalam karya
Marx dan Engels selanjutnya, bahwa negara dapat mencapai tingkat independensi
di bidang ekonomi yang terbebas dari kelas yang dominan dan hubungan yang
kompleks dapat berkembang diantara kelas, partai politik dan negara.
Bagi Lenin, hegemoni
dipahami dalam pengertian aliansi antar kelas atau kelompok kelas. Namun Gramsci
menambahkan dimensi baru tentang nasionalisme kerakyatan adalah jika suatu
kelas hanya membatasi diri dengan kelas tersebut tanpa mampu membangun
kesadaran rakyat yang lain untuk sama-sama menaikkan status kelasnya. Gramsi menambahkan
bahwa kelas yang rendah hanya dapat menjadi kelas hegemonik dengan cara
memperkuat kemampuan-kemampuan untuk memperoleh dukungan dari kelas dan
kekuatan sosial lain. Kelas yang lebih rendah harus mampu melampaui aktifitas
korporasi dalam lingkup setempat dan berani mengambil jalan lain untuk membangun
dukungan publik dan kerjasama dengan kelompok lain. (Roger Simon : 2004). Maka
ini yang disebut Gramsci sebagai Counter Hegemony (hegemoni
tandingan) yang dilakukan oleh rakyat kepada siapa saja yang melakukan
penindasan. Baik itu dilakukan oleh struktur negara maupun struktur
korposari.
Di Indonesia kekuatan kelas proletar
(rakyat kecil) yang ditindas kapitalisme (korporasi) dipenuhi dengan
pelanggaran HAM berat. Tragedi menghilangkan nyawa dalam konflik hegemoni
ini tidak mencerminkan pendewasaan negara yang mulai belajar demokrasi. Penindasan
yang terjadi pada kasus Mesuji, Papua dan kekerasan lainnya sampai
menghilangkan nyawa adalah bentuk kejahatan HAM yang sudah tidak dapat
ditolelir. Nasib sial kembali muncul di negeri ini dimana penindasan antar
kelas bukan hanya melibatkan salah satu pihak yang hegemonik, tapi dua kekuatan
hegemonik sudah melakukan persekutuan untuk melakukan bentuk penindasan.
Papua dengan PT
Freeport yang menguras emas, PT Silva Inhutani dengan merampas hak tanah dan
izin penanaman perkebunan merupakan contoh bentuk penindasan kelas proletar
yaitu rakyat yang tidak berdaya dengan kejahatan korporasi. Negara yang
berkewajiban melakukan perlindungan hak dan hukum bagi rakyat telah melakukan
kejahatan terencana dengan korporasi. Tidak lain adalah faktor ekonomi yang
mampu membungkam segala bentuk perampasan hak tersebut.
Aparat kepolisian,
TNI dan Korporasi sudah menjadi rahasia umum jika terjadi silang sengketa
antara hak rakyat mereka semakin berani untuk melakukan tidakan represif. Maka
jangan salahkan rakyat yang kepalang buntung melakukan perlawanan nekad
sebagaimana di Papua mereka menggunakan senjata-senjata tradisional untuk
mendapatkan haknya. Walaupun dalam kehidupan demokratis yang telah kita bangun
ini tindakan rakyat tersebut bukan suatu tindakan yang benar dan harus
dilakukan pembenaran.
Menjalin Keadilan
Antar kelas
Gramsci dalam Prison
Notebooks menuliskan bahwa perjuangan kelas tidak hanya sekedar perjuangan
ekonomi-korporasi (economic-corporate struggle). Dan mereka harus siap
membuat berbagai konsensus, agar bisa mewakili semua kelompok kekuatan
sosial yang besar. Jadi hubungan antara dua kelas utama yaitu pemodal dan buruh
bukan merupakan hubungan pertentangan yang sederhana antara kelas, melainkan
hubungan yang kompleks yang melibatkan kelas-kelas dan kekuatan sosial lainnya.
Namun pada kasus
Mesuji Sumatra Selatan dan Lampung, hegemoni tandingan (counter hegemony)
adalah solusi terakhir untuk membangun perlawanan. Civil society yang
disepakati oleh Gramsci dan intelektual-intelektual lain adalah bentuk
perlawanan akhir ketika demokrasi yang kita bangun tidak menempatkan keadilan
sebagai solusi akhir. Kejahatan korporasi dan aparat negara adalah kejahatan
HAM yang hadir ditengah-tengah krisis kepemimpinan. Hegemoni tandingan
yang dimaksud Gramsci akan sejalan dengan praksis di lapangan.
Masyarakat terisolir seperti di Mesuji Sumatra Selatan dan Lampung harus mampu
meraih dukungan semua pihak.
Mahasiswa, LSM,
Pers, dan Partai Politik (civil society) perlu mambangun sinergitas
untuk melawan hegemonik korporasi. Aliansi civil society bukanlah gerakan
pura-pura dan lembaga negara ad hoc (KPK) mau untuk masuk dalam ranah kejahatan
tersebut. Pertama, Perusahaan tersebut telah melanggar kontrak dengan
kementrian kehutanan dan pelanggaran Undang-undang ini dapat dijerat dengan
pasal. Kedua, Aparat kepolisian sejalan dengan yang selama ini
dipertanyakan oleh ICW tidak pernah terjerat oleh KPK soal proyek suap dalam
mengamankan Korporasi dari protes rakyat yang tertindas. Istilah centeng
perusahaan yang selama ini disematkan beberapa LSM kepada Kepolisian sangat
menjadi alasan bentuk kejahatan extra ordinary crime. Gagasan menyatunya
civil society ini adalah bentuk aliansi perlawanan hegemoni yang
disampaikan Gramcsi dalam teorinya. Jika kemudian counter hegemony
ini sukses menyeret dalang pelaku, maka harapan besar kuat untuk menyelesaikan
kasus lain seperti kejadian Papua yang terus berulang dan berulang.
Partai Politik
sebagai wakil rakyat juga dituntut untuk tidak hanya show up tapi harus
mampu bergerak pada rel proletar. Rakyat sudah lelah dengan janji-janji
kesejahteraan, harapan terakhir adalah keadilan rakyat yang selalu kalah dengan
hukum yang semakin menggilas. Kalau tidak setia digaris rakyat maka bisa jadi
perlawanan itu hadir dengan jalan revolusi dan kemungkinan revolusi itu sudah
semakin dekat pasca kematian Sondang Hutagalung!
[1] Mahasiswa Ekonomi Islam Sekolah Pascasarjana UGM,
Sejumlah
tulisan
terbit di media seperti : Media Indonesia, Lampung Post, Radar Lampung, Solo
Post, Bali Post, Metro Siantar , OkeZone, Detik.com, Hidayatullah.com,
Islamedia.com
0 komentar