Oleh
: DHARMA SETYAWAN
Ketua Komunitas Hijau
Sederhana itu keindahan, kata yang
kudapat dari seseorang yang memilih jalan tersebut. Dia begitu jelas
mencontohkan bagaimana sederhana itu dibangun bukan ditumbangkan. Sederhana
bukan dia cari tapi memang dia jalani. Baginya kehidupan pada poros tengah.
Sekali kita bergeser maka yang lain akan susah mendapat tempat. Mobil mewah,
rumah mewah, perhiasan mewah, tanah yang luas dia tolak dan lebih
membelanjakannya untuk orang lain sebagai bentuk sedekah dirinya. Takjubku
tidak hanya sampai disini, bagi dia kaya itu harus tapi sederhana adalah jalan
yang harus diambil. Kenapa seseorang bisa tewas dirampok, dibunuh di dalam
mobil dan dikejahatan kriminal yang lainnya adalah akibat dia memilih jalan
mewah. Orang lain dalam konteks agregat merasa iri dengan kemewahan yang
didapat dari individu tersebut. Makin semangat orang tersebut bercerita dan aku
menatap penuh yakin. Dia mengatakan “Islam lebih manusiawi bicara harta, Rosul
Muhammad itu kaya tapi memilih sederhana bahkan dekat dengan orang miskin.
Bukan karena dia tidak punya tapi karena itu pilihan beliau. Pernah suatu kali
Rosul tergesa pulang dari sholat hanya karena teringat emas yang belum
disedekahkan.” Aku semakin mengangguk-angguk tanda setuju.
Sederhana, padanya kita menemukan penolakan
terhadap segala bentuk kerakusan. Sederhana itu kesatria, ditengah nafsu diri
ingin memiliki dia rela berbagi dengan himpitan hedonisme yang menyerang.
Sederhana juga pilihan cerdas, dia tidak akan memaksa yang lain untuk miskin
atau memaksa yang lain untuk kaya. Sederhana merupakan kearifan, darinya
kemudian muncul alasan filantropi,give and give, sedekah, zakat, infaq dan
segudang kata untuk berbagi. Sederhana bagaikan bagaikan kumbang yang menghisap
sari bunga dia tidak merusak namun mampu menghasilkan madu. Sederhana juga
seperti burung dia bertawakal berangkat pagi dalam keadaan lapar dan pulang
dalam keadaan kenyang. Tidak lupa pula burung itu memberi makan anaknya.
Sederhana juga seperti Unta dia minum dan menjaganya untuk bertahan sebagai
bekal perjalanan jauh. Sederhana adalah bentuk filosofis pilihan dari seluruh
bentuk penolokan terhadap monopoli.
Sederhana itu kesetian jalan panjang,
ia tidak berubah walau status telah merubah keadaannya. Sederhana tetap menyapa
kawan lama, tetap berpacu pada janji, tetap melakukan pelayanan, tetap
bercengkerama dengan lingkup sosial. Sederhana yang kuserap ini hadir dari
seorang pengajar di UGM sebagai orang kaya yang sederhana . ketika diberi
amanah mengelola Proyek dan program UGM yang bernilai milyaran telah
dibuktikannya bersih dari mark-up anggaran. Bahkan kerja-kerja cerdas tentang Good
Government Governance (GCG), Good Corporate Governance (GCG), Publik
service Obligation (PSO), Publik Private Patnership (PPPs) mampu beliau
buktikan dalam berteori dan berpraksis.
Di akhir tahun menjelang pergantian tahun
2012, ditengah macetnya Jogja, kebisingannya, kesibukannya dan kondisi kota 24
jam membuatku penat. Aku berinisiatif unutk berkunjung ke daerah Godean yang
lebih hening. Aku memiliki saudara yang hidupnya sangat sederhana disana. Untuk
melepas penatku aku kesana sebagaimana seorang anak menjenguk orang tua. Namannya
Pak Bandi, Orang tua yang selalu memberi petuah kepada siapapun yang ingin
menyerap segudang ide persoalan. Ya sekali lagi aku ingin mengatakan segudang
kata kesederhanaan. Istrinya Bu Tugiyanti adalah teman lama bapak mengajar di SD
N 2 Kotagajah di Lampung. Namun meminta pensiun dini pindah ke Jogja karena
semua keluarga fokus pada usaha Penerbitan buku. Pak Bandi memiliki 4 Anak yang
menguasai bisnis percetakan buku di Jogja dibawah naungan Media Presindo.
Beberapa percetakan dibawahnya dibuka di Jogja dan di Jakarta. Dari Media
Presindo Jogja sendiri ada 300 karyawan. Dari 4 anaknya laki-laki Indra
Setiawan, Indra Gunawan, Indra Ismawan, dan Indra Dharmawan kejeniusan usaha
dibangun sangat sukses. Maka wajar jika total karyawan yang meliputi Jakarta
dan Jogja 1200 orang baik kontrak dan lepas.
Orang mungkin tidak menyangka dibalik
kesederhanaan Pak Bandi yang sangat sederhana tinggal di rumah di Godean yang
jauh dari keramaian, ada usaha yang begitu besar dia persembahkan untuk
masyarakat. Gudang kertas, Usaha Mobil, Penerbitan yang menargetkan minimal 1
hari 1 buku. Saya kemudian membayangkan ternyata ada 1000 orang yang hidup
makan dari usaha ini jika 300 karyawan memiliki anak dan istri. Lagi-lagi
beliau berbicara penolakan terhadap fanatik agama. “Tuhan menciptakan kita
berbeda bukan untuk bertengkar, kita disuruh mengurus bumi ini secara baik”.
Ungkapnya. Bagi Pak Bandi kaya itu harus tapi sederhana itu adalah sikap
keharusan. Kata “Tilar Dunyo” itu mengmbarkan orang yang meninggal dunia
dalam keadaan meninggalkan apapun untuk generasi selanjutnya. “Tilar Dunyo”
adalah bentuk pengorbanan seseorang dan menolak untuk mengganggap remeh harta
kekayaan. Harta kekayaan memang tidak dibawa mati tapi pasti jika kita tinggalkan
dalam keadaan banyak akan bermanfaat untuk anak cucu kita. Maka falsafah jawa
jika meninggal tanpa meninggalkan apapun itu disebut “Modar”.
Keserhanaan itu adalah tabiat nurani
kemanusiaan, dia tidak ingin menjadi pemangsa bagi orang lain. Hadirnya murni
untuk saling membantu, memberi manfaat. Kekayaan baginya adalah amanah,
kelebihan ilmu bagi para penganut mahzab sederhana adalah responsibility dari
kemudahan Tuhan memberikan rezeki. Ternya sederhana itu bukan karena kondisi
miskin tapi sederhana itu memang melekat bagi orang yang Kaya, Pemimpin,
Pejabat yang tidak mau menampakkan kekayaan tapi menampilkan kondisi pribadi
tanpa kemewahan dan tanpa kepura-puraan.
1 komentar
Great!!!
BalasHapusHem,,,jika pejabat kita adalah orang-orang yang sederhana,,,maka kan tercipta harmonisasi yang indah antar pejabat dan rakyat...