MENGGUGAT KEMERDEKAAN POLITIK

19.45.00



Oleh : DHARMA SETYAWAN
Ketua Komunitas Hijau /
Mahasiswa Pascasarjana UGM Agama dan Lintas Budaya Studi Ekonomi Islam

Agregat kepemimpinan negeri ini masih terjajah oleh kepalsuan-kepalsuan praktek nudis. Mimpi-mimpi besar para pahlawan kian hari kian pupus tersapu tindak korup para elit-elit negara. 66 tahun kemerdekaan dijalani dengan rentetan sejarah buruk segelintir golongan yang penuh dengan bentuk pragmatisme kepemimpinan. Orde lama, orde baru terisi dengan sejarah penumbangan yang berdarah-darah. Begitupun Reformasi dimana sesama politisi dapat bersekongkol dan dapat pula saling menjatuhkan. Makna kemerdekaan kita belum kita resapi sebagai bentuk rahmat Allah swt sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Kemerdekaan semakin jauh kita rasakan akibat perilaku para pemimpin yang mencerminkan budaya korup pada semua lini baik eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jiwa-jiwa filantropi (kedermawanan) para pemimpin jauh menghilang dan politik tidak menjadi bentuk pelayanan kepada rakyat tapi menjadi ajang lomba untuk meraih kepentingan individu dan golongan. Semangat kemerdekaan juga terus memudar seiring semakin pesimisnya masyarakat akan masa depan mereka ditangan pemimpin yang terbentuk dari demokrasi jual beli.
Politik Menjajah Sipil
Jalan politik pada hakekatnya adalah jalan-jalan perjuangan yang mulia. Para founding father kita seperti Soekarno, M Hatta, Sjahrir, M. Natsir, memilih jalan ini untuk memerdekakan (liberasi) negeri ini dari penjajahan. Jalan politik yang 66 tahun lalu sangat dibanggakan dan menggelari mereka dengan sebutan pahlawan kini tidak seindah dulu. Jalan politik yang secara nyata telah memberi kesadaran para pejuang kita untuk berfikir cerdas dan berkorban ikhlas. Maka wajar jika dulu Plato menginginkan bahwa para filosuflah yang pantas menjadi pemimpin karena kelebihannya dalam ranah fikir. Jalan politik inilah yang mengantarkan kuatnya peradaban manusia di masa lampau. Peradaban Islam, Barat dan Komunis niscaya akan hancur jika jalan politik ini tidak diambil sebagai bentuk strategi pertahanan. Kesadaran berpolitik inilah yang kemudian menyatukan ide manusia sehingga membentuk komunitas peradaban dan rela berperang untuk mempertahankannya.
Antonio Gramsci membedakan antara masyarakat politik (political society) dan masyarakat sipil (civil society), yaitu masyarakat politik yang diterjemahkan sebagai negara yang terdapat aparat koersif seperti adanya penjara, pengadilan dan polisi. Masyarakat politik identik dengan coersive power (kekuasaan memaksa), sedangkan masyarakat sipil adalah wilayah dimana negara mengoperasionalkan bentuk kekuasaan dengan cara halus, nilai religi, budaya, pendidikan, politik dan ideologi (hegemoni konsensus). Gramsci melihat negara bukanlah sebagai tahap final, tetapi sebuah instrumen transisi menuju mesyarakat sipil yang teratur dan terbebas dari negara (Fahri Hamzah, 2010 : 404)
Apa yang Gramsci sampaikan menarik seiring fakta bahwa negara sebagai representasi masyarakat politik yang memiliki aparat koersif lebih banyak melakukan pelanggaran. Para aparat koersif yang lebih dominan mengerti aturan hukum juga terbukti lebih sering menerobos norma-norma hukum yang mereka buat. Para pemangku negara ini secara tidak langsung ikut andil dalam menjajah politik yang semestinya merdeka dan hadir untuk kepentingan rakyat. Politik yang semestinya mengikat peradaban berbalik arah menjadi perusak peradaban. Gramsci juga mengapresiasi bentuk gerakan sipil dimana mereka membentuk kekuasaan dengan cara halus. Gramsci dengan berani mengatakan bahwa masyarakat politik bukanlah bentuk final, tapi bentuk transisi menuju masyarakat sipil, atau mengutip pendapat Islam adalah bentuk masyarakat madani. Masyarakat sipil memiliki kemampuan politik bukan untuk menguasai tapi lebih ingin menjaga nilai peradaban. Masyarakat sipil dalam bahasa Gramsci di sebut intelektual organik.  Intelektual organik muncul dari relung akademisi, pers, ormas, agamawan dan aktivis sosial budaya. Para sipil ini berjuang untuk menjaga nilai religi, budaya, pendidikan, politik dan ideologi dari gerusan pragmatisme progerif kaum politik praktis.
Memerdekakan Penjajahan Politik
Pemahaman politik baik secara teoritis maupun praksis perlu kita luruskan bersama sebagai bentuk jalan memerdekakan penjajahan politik. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa keadilan sebagai syarat pokok bagi semua bentuk pemerintahan yang sah baik itu pemerintahan Islam atau bukan. Nilai keadilan dianggap begitu penting dalam pemikiran politik Ibnu Taimiyah sehingga berada diatas keimanan. Prinsip keadilan pun dalam pandangan Aristotels adalah bentuk kebijakan negara yang selalu diarahkan untuk kepentingan umum. Sehingga menurutnya bentuk negara yang diarahkan untuk kepentingan penguasa adalah buruk (Diane Revitch dan Abigail Thernstrom (ed), Demokrasi Klasik dan Modern : 2005)
Penjajahan politik dalam bentuk monopoli penguasa dan pemodal adalah bentuk ketidakadilan. Semestinya politik tidak disamakan dengan pasar dimana berisi jual beli suara. Politik seharusnya berbentuk pengabdian dan pelayanan untuk perjuangan kepentingan umum. Individu beserta kelompok yang terjun dalam misi politik harus mau dan mampu mengorbankan kepentingan diri sendiri. Untuk itulah Ibnu Taimiyah menempatkan keadilan sebagai syarat pokok bentuk pemerintahan, karena para elit politik juga telah dijamin kebutuhannya oleh negara. Pada bentuk fatsoennya para politikus adalah orang yang berjiwa pejuang dan rela berkorban untuk kepentingan umum, sehingga mereka adalah orang-orang yang mengorbankan dirinya untuk kepentingan umum. Jika etika ini dilanggar maka nilai keadilan akan mustahil terwujud.
Para pemimpin politik yang berangkat dari jalan etika kebenaran inilah yang perlu dicari bahkan perlu dilahirkan. Orientasi politik mereka harus melampaui (beyond) zaman dan keluar dari kepentingan pragmatisme dunia. Ideologi yang dibawanya pun tidak hadir karena ingin menguasai tapi ada dorongan teologi dan ideologi yang membuatnya sadar dan rela berkorban untuk kepentingan bersama demi tegaknya keadilan. Etika politik yang demikian membuatnya harus berbuat dan beretika dengan praktek politik yang benar.
Maka politik diatas menjadi jawaban kenapa Nabi Muhammad memilih hidup sederhana dan bahkan berkumpul dengan para mustadafin walau Islam telah menakhlukkan berpuluh-puluh kerajaan. Rosul menjadi pemimpin dan terbaik dalam bersedekah secepat hujan untuk mewujudkan keadilan rakyat. Sepeninggalnya Rosul juga diceritakan telah menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi. Umar Bin Khotob pun rela memikul gandum dipundaknya untuk diberikan kepada wanita yang merebus batu untuk anak-anaknya yang menangis karena lapar. Para Founding Fathers Indonesia seperti M Hatta walau seorang wakil presiden lebih memilih hidup sederhana sampai masa tuanya dan tetap berjuang untuk menjadi pemikir dan penulis produktif. M Natsir pun sebagai mantan perdana menteri pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) dan pemimpin besar partai Masyumi bersikap sebagai negarawan ulung dengan hidup sederhana dan tidak malu untuk mengendarai sepeda ontel, bahkan M Natsir menggunakan baju yang bertambal aspal. Politik bagi mereka adalah bentuk pengabdian demi kemerdekaan yang sesungguhnya. Politik yang dicontohkan mereka adalah politik yang jauh dari manipulasi, jual beli dan mencari kekayaan diri sendiri. Mereka adalah contoh politikus yang memerdekakan politik.

You Might Also Like

0 komentar

Ayo Gabung

SUBSCRIBE NEWSLETTER

Get an email of every new post! We'll never share your address.

Dharma

Dharma
Selamatkan kekayaan Indonesia

Ad Banner

Ad Banner