Eco-Campus adalah Kewajiban

22.01.00

Oleh Dharma Setyawan

Dharma Setyawan
PERGURUAN tinggi (PT) di negeri ini bagian lembaga yang cukup banyak menghabiskan energi, mulai dari listrik, bahan bakar minyak (BBM), dan air. PT menggunakan fasilitas yang menyedot listrik begitu banyak, mulai dari lampu, komputer, kipas, AC, dan lain-lain.

Di Lampung, pemadaman bergilir menjadi rutinitas dan membuat banyak warga mengeluh, terutama di media sosial. Para warga PT juga banyak menghabiskan BBM dengan berlomba-lomba menggunakan kendaraan bermotor—baik roda dua dan empat—dari mahasiswa sampai dosen.

Soal air jangan heran, banyak PT yang menggunakan air “semau gue” dan sering membuangnya percuma tanpa menggunakannya kembali, misal untuk menyiram tanaman di dalam lingkungan PT tersebut. Tentu di luar PT juga banyak yang menghabiskan energi dengan membabi buta, mulai dari kantor pemerintahan, hotel, perusahaan produksi, dan banyak instansi yang lainnya.

Negara Boros

Menurut Data Asean Centre for energy (ACE) 2013 bahwa Indonesia adalah negara yang paling banyak melakukan pemborosan untuk energi listrik. Indonesia berada di urutan ketiga setelah Pakistan dan Bangladesh. Bahkan, catatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menunjukkan Indonesia menggunakan energi empat kali lebih besar dari Jepang.

Kita harus bersyukur bahwa negeri ini dianugerahi iklim tropis. Tidak ada iklim seperti di Barat yang begitu dingin minus derajat dan Timur tengah yang panas derajatnya begitu tinggi. Jika dingin menggigil orang membutuhkan energi besar untuk memberi hangat, dan jika panas yang begitu menyengat orang butuh energi untuk mendinginkan.

Kondisi iklim tropis juga memberi keuntungan berbagai tanaman tumbuh dan tanaman buah tumbuh dengan subur. Sedangkan di wilayah padang pasir dan bersalju hanya beberapa tanaman yang bisa tumbuh.

Lalu kenapa bangsa yang diberi anugerah alam yang subur ini, menjadi bangsa yang mengalami krisis energi? Jawaban sederhananya, kita tidak menghargai local wisdom dan budaya hidup bernusantara. Local wisdom—lebih akrab disebut kearifan lokal—telah terjadi degradasi makna dan implementasinya mulai kita remehkan. Misal kearian lokal masyarakat adat yang mengambil alam seadanya dan mengembalikan ke alam sebagai kewajiban bukan kebajikan.

Tradisi adat yang menjadikan alam sebagai warisan generasi. Juga konsepsi adat yang begitu sakral, memandang alam sekitar sebagai makhluk Tuhan yang sama derajatnya.

“Ber-nusantara” berati hidup dengan cara kehidupan alami sesuai akar budaya nenek moyang kita. Suatu kali seorang “Dosen Sepuh” lulusan Amerika marah-marah pada sesi perkuliahan di Universitas Gadjah Mada. “Kalian ini anak tropis manja menggunakan AC, kalian ini bukan didikan generasi Soekarno jadi manja dan permisif terhadap produk asing. Matikan AC dan buka jendela!”.

Ada yang menarik dari kemarahan seorang dosen di kampus tersebut, bahwa sejatinya bangsa ini selalu permisif dengan teknologi asing, padahal negeri ini tidak selalu cocok dengan barang teknologi tersebut.

PT yang ikut andil dalam melakukan pemborosan energi sudah menjadi hal yang jamak dan tidak disadari oleh sivitas akademika sebagai sebuah permasalahan yang akut. Di Lampung ini, PT tidak memberikan solusi yang jelas malah menjadi bagian masalah karena telah menjadi pelaku pemborosan energi.

Bangunan-bangunan kampus yang megah dan mentereng didesain bukan untuk menghemat energi, melainkan untuk memboroskan energi. Kaca-kaca jendela tidak dibuat seperti pintu, tapi dibuat buka tutup ke depan.

Pada akhirnya suasana perkuliahan memaksa harus menggunakan AC. Di negeri tropis, angin sejuk dan penuh oksigen adalah mutualisme pohon yang tumbuh subur negeri ini.

PT juga penuh sesak dengan kendaraan bermotor, kota-kota besar yang juga berdiri PT ternama telah sesak dipenuhi oleh mahasiswa dan dosen yang berlomba-lomba memboroskan energi BBM. Seolah tak berkorelasi dengan penghematan yang dicanangkan pemerintah, kemacetan lalu lintas juga disumbang oleh para warga PT. Belum kita menghitung sampah yang dihasilkan dari PT, mulai dari sampah makanan sampai sampah plastik yang terus diproduksi.

Saatnya Go Green!

Pola hidup warga PT harus berubah, output pendidikan adalah salah satunya memecahkan persoalan sosial. Pemborosan energi perlu ditanggulangi dengan pola hidup Go Green. PT harus mencari jalan solusi untuk persoalan pemborosan energi yang dilakukan oleh PT.

Pengetahuan dan kesadaran seharusnya menjadi basis utama PT mengurangi pemborosan. Mulai dari program eco-campus, PT memulai menyatukan Tri Dharma PT dengan konsep lingkungan hidup.

Kesadaran membuang sampah pada tempatnya, hemat listrik, hemat air, dan banyak menanam pohon. Desain arsitek bangunan PT juga dapat mengurangi pemakaian AC dengan konsep ventilasi yang lebar, yaitu jendela yang memberi udara alam sekitar masuk ke ruangan. Lebih baik lagi jika atap gedung menggunakan panel surya sebagai upaya menampung energi matahari menjadi listrik sehingga pada tiap ruang kelas memiliki sumber daya sendiri dari tenaga matahari yang diserap di atas atap.

PT yang mendeklarasikan diri sebagai kampus hijau, eco-campus, kampus bervisi lingkungan dan berbagai jargon go green lainnya hanya omong kosong jika tidak mulai sadar untuk melakukan penghematan energi dan bergerak melakukan inovasi energi terbarukan.

Menurut data UI Greenmetrics (2014) ada 10 kampus hijau di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia, Institute Pertanian Bogor, Universitas Negeri Semarang, Universitas Negeri Semarang, Universitas Andalas, Universitas Diponegoro, Institut Teknologi Bandung, Institut Teknologi Sepuluh November, Universitas Sebelas Maret, Universitas Islam Indonesia, dan Universitas Lampung. Pada 2014, IAIN Raden Intan Lampung mendapatkan penghargaan dari Kementerian Agama, yaitu sebagai predikat eco-campus.

Namun, dalam data tersebut eco-campus perguruan tinggi masih sebatas menghadirkan suasana hijau terkait menanam pohon, memberikan ruang terbuka hijau. Perguruan tinggi belum mencanangkan pengelolaan limbah sampah, perilaku hemat energi, mengembangkan energi terbarukan yang diterapkan universitas, dan yang penting budaya ekologis para warga di dalamnya.

PT harus berubah dan menjadikan budaya eco atau go green sebagai budaya perubahan. Budaya eco di kampus adalah upaya memberi kelangsungan hidup bagi anak cucu yang lebih baik. Karena eco-campus sejatinya adalah kewajiban, bukan kebajikan. n

You Might Also Like

0 komentar

Ayo Gabung

SUBSCRIBE NEWSLETTER

Get an email of every new post! We'll never share your address.

Dharma

Dharma
Selamatkan kekayaan Indonesia

Ad Banner

Ad Banner