Oleh: Dharma Setyawan
Dosen STAIN Jurai Siwo Metro
Peneliti di Sai Wawai Institute
Setiap tahun perguruan
tinggi—lebih akrab disebut “kampus”—meluluskan ratusan ribu para sarjana.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2014, tingkat
pengangguran berada di angka 5,7% atau sebesar 7,15 juta jiwa yang terdiri dari
≤ SD 2.12 jt (29,65%), SLTP 1.69 jt (23,69%), SLTA 1.89 jt (26,49%), SMK 0.85
jt (11,86%), Diploma 0,20 jt (2,73%),
Universitas 0,40 jt (5.58%). BPS
mencantumkan pengangguran terbuka lulusan Universitas berjumlah 398.298 orang,
sebagian besar lulusan Strata-1. Data ini cukup menjadi bukti bahwa orang-orang
terdidik dari jenjang SLTA/SMK sampai sarjana menyumbang pengangguran cukup
tinggi. Angka pengangguran ini naik pada 2015 sejalan dengan pelambatan ekonomi
dunia. Angka pengangguran terdidik juga bukan isapan jempol belaka, sudah lama
kampus-kampus memang menjadi menara gading. Seolah menyendiri asik dengan
bangku dan teori, banyak kampus tidak hadir mendaratkan gagasan. Kritik Agus
Suwignyo baru-baru ini dalam artikelnya “Menggugat Profesor” menampar kita yang
mengaku sebagai kaum terdidik (Kompas, 06/11).
Belum lama juga kita
membaca di sejumlah media bahwa Kementerian Riset, Teknologi dan pendidikan
Tinggi (Kemenristekdikti) me-nonaktifkan 243 perguruan Tinggi yang disinyalir
abal-abal alias tidak menjalankan perkuliahan secara prosedur. Disejumlah
propinsi, di pelosok-pelosok daerah kita melihat lebih banyak lagi kasus sebuah
perguruan tinggi menyelenggarakan jual beli ijazah. Kampus yang absen dan
menolak menjadi problem solver (pemecah masalah) sosial, menuai panen menjadi kampus yang penuh dengan problem
maker (pembuat masalah) mulai dari plagiarisme karya ilmiah, banalitas kaum
intelektual sebagai kaum pengasong atau “jongos penguasa”, kapitalisme dunia
pendidikan, sarjana pengangguran akibat nir-kreatif dan sekian masalah yang hadir dari dunia
kampus itu sendiri.
Jumlah ratusan kampus
yang diisi oleh para kaum terdidik, juga nyaris tidak membumi dengan pembelaan
atas konflik yang muncul di sejumlah daerah. Mereka bahkan tidak mengerti
dengan apa yang sedang terjadi di pelosok dan
ujung-ujung negeri ini. Perdebatan-perdebatan di ruang kampus oleh para
akademisi lebih banyak bicara soal sertifikasi dan tunjangan dosen, perebutan
jabatan struktural, proyek anggaran, dan nihil menempatkan kampus sebagai ruang
pergerakan dan ruang berkarya untuk membela kepentingan publik. Sejumlah
konflik daerah mulai dari konflik tanah sipil vs militer di Urut Sewu Kebumen,
Konflik Rembang Samin Vs Semen, Konflik Tambang, Pembakaran Lahan, Register 45
dan konflik yang jelas perlu pembelaan kaum terdidik membersamai rakyat.
Banalitas intelektual yang menghamba pada kekuasaan juga merupakan musuh utama
bagi kampus yang lahir dari produk perselingkuhan dunia pendidikan dengan
politik.
Kampus
dan Kota Kreatif
Solusi terkait pengangguran
yang lahir dari dunia kampus tentu membutuhkan waktu, dan tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Orang-orang terdidik di kampus, sudah seharusnya belajar tidak
hanya di ruang-ruang kelas, tapi perlu menyadari realitas lapangan yang siap
untuk dihadapi. Mahasiswa Strata-1 paling cepat lulus membutuhkan waktu 3,5
sampai tahun. Dan tentu tidak mungkin hanya asyik di
ruang-ruang kelas lalu kemudian kebingungan setelah menghadapi dunia kerja.
Sejak di bangku teori mahasiswa dituntut untuk menjadi aktifis kreatif—dalam
upaya pencarian bakat dan melatih skill kreatif.
Kampus harus mengubah
ruang-ruang kuliah ke wilayah realisme. Pendidikan harus mendarat memecahkan
persoalan-persoalan masyarakat baik di kota dan desa. Beberapa kota misal di
Bandung dan Jogja telah membangun pendidikan kreatif yang melibatkan mahasiswa
sebagai penggerak. Pendidikan kreatif ini mampu menjadikan mahasiswa untuk
kritis tapi juga solutif. Aktifis mahasiswa yang dulu menjadi primadona gerakan
dengan berlomba-lomba masuk gelanggang politik mulai ditinggalkan. Mereka lebih
menyukai gerakan post-modernisme yang
tidak terikat pada struktur organisasi ideologis. Organisasi struktur tetap
penting, tapi tidak mungkin perubahan hanya digantungkan pada perubahan
struktural. Upaya kultural, seperti gerakan komunitas menjadi hal yang penting
dalam proses perubahan. Kita melihat perubahan itu muncul melalui Indonesia
Mengajar, Indonesia Berkebun dan lainnya. Mereka yang memilih gerakan
komunitas, membangun kreatifitas, mengembangkan teknologi sebagai solusi tampil
memukau membantu memecahkan persoalan lingkungan hidup, pengangguran,
pendidikan. Beragam profesi dan kemampuan kreatif saling mendukung dalam karya
dan membangun kota dengan produk lokal. Upaya saling mendukung dan
berkreatifitas ini sejalan dengan apa yang disebut intelektual kolektif. (Pierre
Bourdieo: 1999)
Ekonomi
Kreatif
Kampus atau Perguruan
Tinggi juga penting untuk mendorong tumbuhnya ekonomi kreatif di kota. Menteri
perindustrian Saleh Husin dalam International
Conference Creative Industry (ICCI) 2015 di Bali (11/08) mengatakan bahwa Ekonomi
Kreatif menyumbang 5,76% di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional 5,74%
dengan nilai tambah Rp 641,8 triliun atau 7% dari PDB Nasional. Sesuai Intruksi
Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif yaitu,”kegiatan
ekonomi berdasarkan pada kreativitas, keterampilan, dan bakat individu untuk
menciptakan daya kreasi dan daya cipta individu yang bernilai ekonomis dan
berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat Indonesia. Ruang lingkup dari ekonomi
kreatif meliputi, advertising, architecture,
the art and antiques market, crafts, design, designer fashion, film,
interactive leisure software, music, the performing arts, publishing, software,
television and radio.”
Kampus saatnya membumi,
mendukung produk lokal yang menjadi bagian kreatifitas kota. Misal musik, film,
design, kaos, kerajinan. Perguruan Tinggi yang tidak mengerti pergerakan kota
akan selalu tertinggal dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Sangat wajar
jika Bandung pasca Ridwan Kamil jauh melesat bergerak meninggalkan kota-kota di
Indonesia dan terus mengejar ketertinggalan dengan kota-kota dunia. Persoalan
macet, sampah, ruang publik, mendukung produk kota adalah hal yang wajib untuk
diselesaikan Bandung hari ini. Semestinya Pemerintah, Perguruan Tinggi dan
Komunitas kreatif harus duduk memecahkan persoalan-persolan kota, salah satunya
melalui ekonomi kreatif. Jika Perguruan Tinggi sibuk dengan persoalan teori,
tentu dia akan terasing dengan perubahan kota yang lebih cepat dari teori yang
diajarkan.
Produk ekonomi kreatif
hasil kreatifitas anak muda kota, harus didekatkan dengan ratusan ribu
mahasiswa yang hari ini banyak mabuk teori. Mahasiswa perlu dibekali skill
kreatif agar tidak tumpul dibursa lapangan kerja. Bukankah survey BPS
menunjukkan bukti gagalnya pendidikan mencetak orang-orang kreatif? Skill dalam
ekonomi kreatif ini kelak mencetak mental para sarjana menciptakan lapangan
pekerjaan diera digital. Produk-produk ekonomi kreatif kota seharusnya menjadi
souvenir untuk tamu-tamu Perguruan Tinggi yang datang dari lokal, nasional
bahkan internasional. Dan kontribusi kampus menjadi jelas mendukung brand kota
dikenal publik. Icon kota yang ditonjolkan melalui hasil kerajinan, kesenian,
dan teknologi membutuhkan perguruan tinggi dan pemerintah untuk mempromosikan
melalui ruang seminar, promosi media dan mengenalkan ke wisatawan yang
berkunjung ke kota tersebut. Bangga dengan hasil ekonomi kreatif kota adalah
bagian dari mendukung tumbuhnya ekonomi lokal. Tidak mungkin satu kota akan
maju, jika anak mudanya selalu menjadi follower
bukan trend-center. Saya menutup
tulisan ini dengan puisi WS Rendra
Sajak Seonggok Jagung (1975) “Yang tidak
terlatih dalam Metode/ dan hanya penuh hafalan kesimpulan/ yang hanya terlatih
sebagai pemakai/ tetapi kurang latihan bebas berkarya/ Pendidikan telah memisahkannya
dari kehidupannya”. Sejatinya kampus adalah tempat orang-orang kreatif.
Semoga!
0 komentar