Oleh Dharma Setyawan
Penggiat Komunitas Cangkir Kamisan
Dharma Setyawan |
Agama-agama baru yang hadir di
Nusantara tidak mampu menjawab tantangan kehidupan dalam menjaga kelestarian
Lingkungan hidup. (Dandhy Dwi Laksono).
Sebuah pengakuan seseorang yang berkeliling
Indonesia melihat keindahan dan permasalahan Indonesia dengan persepektif yang
jujur. Menyusuri Indonesia dimulai dari tengah Indonesia ke bagian timur
kemudian ke barat bukan perkara mudah. Mendengar bahwa alat yang rusak dalam
pembuatan film di perjalanan lebih dari 100 juta rupiah adalah pengorbanan yang
luar biasa untuk Indonesia. Mas Dandhy menabung sejak 5 tahun lalu dan dihabiskan
setahun bersama Bang Ucok Suparta Arz. Dan beliau tidak mau mengatakan berapa
total biaya keliling Indonesia dengan kantong pribadi tersebut. Satu hal yang
menyentuh, bahwa beliau mengatakan,’ setelah tabungan saya habis, saya merasa
malah bertambah kaya, yaitu saya kaya persaudaraan.” Ya, Ekspedisi Indonesia
Biru memberi inspirasi bagi kampus kecil STAIN Jurai Siwo Metro Sabtu 26
Desmber 2015 di ruang GSG. Sudah 3 angkatan semester, ratusan mahasiswa sengaja
saya putarkan 6 film #Ekspedisi Indonesia Biru dan sangat membantu sebagai
pemantik diskusi mata kuliah Makro Ekonomi—Samin vs Semen, Baduy, Kala Benoa,
Lewa di lembata, The Mahuzes dan kasepuhan Ciptagelar. Selain film di atas juga
saya putarkan film WDatchdoc Dokumenter sebelumnya Onde Mande, Alkinemokiye,
dan Belakang Hotel.
Statement mas Dandhy soal Agama
baru yang hadir di Nusantara tidak mampu menjaga kelestarian Lingkungan Hidup
adalah statement akademik di ruang kampus. Ini bukan omong kosong, jika kita
mencermati film Samin vs Semen, Baduy, dan Kasepuhan Ciptagelar. Film pertama, menyajikan gerakan masyarakat Samin
di Pati Jawa Tengah. Samin adalah sekelompok masyarakat adat yang mengikuti
ajaran Mbah ‘Samin Surosentiko’ dimana sejak Belanda datang mereka melakukan
perlawanan tanpa kekerasan—salah satunya dengan tidak membayar pajak kepada
Pemerintah Hindia Belanda. Sampai hari ini mereka dengan Ibu-ibu di Pati, Jawa
Tengah setia mendirikan tenda untuk melawan Pabrik Semen yang berdiri dan
mengancam hak air persawahan dan ekosistem sekitar. Samin punya kearifan lokal
“sedulur sikep” yaitu memegang erat persaudaraan dan mengutamakan sikap
kolektif hidup antar warga Samin. Walau dalam perkuliahan saya tidak membahas
persoalan teologi ‘Samin’ tapi lebih membahas pada persoalan konflik ekonomi. Dalam
tulisan ini saya mencoba memuji secara terbuka bagaimana masyarakat samin setia
hidup apa adanya dan menjaga alam sebagai bentuk terimakasih kepada Sang
Pencipta. Ajaran “Samin” yang lekat dengan pakaian hitam seolah aneh bagi
kehidupan modern di kota-kota besar. Masyarakat samin hidup cukup dari
pertanian, anak generasi mereka tidak sekolah tapi diajari sendiri berhitung
dan membaca oleh orang tua mereka sendiri.
Dalam masa orde baru, pemerintah
memaksa mereka untuk menggunakan KTP Islam dan mereka menurut saja. Karena pada
dasarnya ajaran Samin tidak pernah melakukan kekerasan. Dengan setia Gunretno
(46) dan warga samin lainnya mengkampenyakan ke warga untuk tidak menjual tanah
kecamatan Sukolilo di Pati ke Pabrik Semen. 1400 hektar lahan mereka yang
menjadi tulang punggung ekonomi warga
terancam hilang. Sampai Gunretno menempuh perjalan ke Tuban, Jawa Timur
untuk melihat bagaimana kondisi Tuban setelah 20 tahun lalu di kuasai pabrik
Semen. Beberapa pengakuan warga menyesal telah menjual tanah mereka dimana saat
itu mereka menjual per meter 600 rupiah. Dan apa yang didapat warga saat ini
adalah kerusakan ekosistem yang luar biasa terutama hilangnya akses air warga
disekitaran Pabrik Semen.
Film kedua, tentang Baduy. Sebuah kehidupan masyarakat Baduy di Jawa
Barat yang terbagi menjadi Baduy dalam dan Baduy Luar. Baduy dalam sangat
tertutup dan hanya Baduy luar yang bisa di wawancara. Baduy tidak boleh menjual
beras ke masyarakat luar kecuali madu, gula dan pisang. Ketahanan pangan Baduy
sudah teruji walaupun hanya menanam sekali dalam satu tahun. Hidup bersama alam
dan mengambil seperlunya terhadap alam. Sebagaimana Samin, Baduy juga
mempertahankan tradisi kepercayaan mereka terhadap Tuhan dalam persepektif adat
budaya yang mereka yakini sejak lama. Ber-tani menggunakan pupuk alami, tidak
menggunakan mesin, dan tidak merusak alam sekitar.
Film ketiga, adalah Kasepuhan Ciptagelar. Sebuah suku adat aliran
kepercayaan Sunda Wiwitan di Suka Bumi, Jawa Barat. Mereka mampu
menggbungkan hal yaitu pertahanan
tradisi dan penggunaan teknologi pro Lingkungan. Memiliki penyiaran tv mandiri
CigaTv dengan tayangan yang mandiri, penggunaan listrik panel surya dan mikro
hidro, system pertanian yang mampu menjaga lumbung pangan hingga 3 tahun.
Menanam padi dengan cara gotong rotong, dan menjaga tradisi adat secara turun
temurun. Tradisi kolektif Kasepuhan Ciptagelar menjadi fakta lebih rapi
membangun shaff-shaff—barisan-barisan ritual ibadah— dibandingkan dengan tradisi
agama-agama baru yang hadir kian marak di Indonesia—terutama Kristen dan Islam
yang nakhir-akhir ini sering bentrok dan berebut kebenaran.
Menarik ketika mahasiswa saya
bertanya ke Mas Dandhy, apa yang membuat tradisi gotong royong di negeri kita kian
pudar? Mas Dandhy menjawab dengan memancing emosi peserta, bahwa agama-agama
baru yang hadir di Indonesia tidak memiliki konsep tegas pelestarian lingkungan—misal
menjaga pohon dan air sebagaimana adat Bali yang lebih lama ada di Nusantara.
Agama-agama baru gagal membangun konsepsi kolektif gotong royong sebagaimana
rapatnya shaff barisan yang dicontohkan oleh Kasepuhan Ciptagelar. Tidak ada
tradisi keagamaan di Nusantara ini yang lebih rapi barisan gerakan sosialnya
dalam menjaga lingkungan seperti yang dilakukan Kasepuhan Ciptagelar.
Saya cukup terbelalak, di pagi
harinya sebelum acara tersebut digelar, saya dilantik sebagai ketua Bidang
Lingkungan Hidup Pemuda Muhammadiyah Kota Metro. Pahit untuk menyatakan bahwa
konsepsi Muhammadiyah dalam menjaga lingkungan masih pada tataran wacana. Jihad
Konstitusi Pimpinan Pusat belum tertransformasi utuh ke daerah. Semangat untuk
membela hak-hak rakyat yang dirusak lingkungannya oleh perusahaan tambang juga
masih lirih terdengar. Konsepsi jawa tentang sakralnya pohon—misal adat Jawa, telah
lama di serang Muhammadiyah dengan seruan musrik, bid’ah dan sebagainya. Pohon
menjadi tidak sakral dan penumbangan jutaan pohon di negeri ini menjadi hal
yang remeh temeh. Dalam wacana Protestan Max Weber juga menguraikan secara
jelas dalam buku “Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme”. Lama kita menyanjung
liberalisme dalam struktur kapitalisme global, ternyata tidak memberikan mutu
yang baik bagi lingkungan hidup. Di kota besar timbul masalah lain soal sampah,
macet, banjir dan ini adalah bukti gagalnya modernisme menjaga alam sekitar.
Kita perlu belajar dan mendengar
lagi sesuatu ajaran animisme lokal negeri ini yang lama kita serang dalam
pandangan rasional. Kita perlu mendengar “Agama Biru” ini untuk melihat nilai
hidup dari sikapnya yang substanstif. Samin, Baduy, Kasepuhan Ciptagelar adalah
sumber kearifan lokal, jikapun kita menolaknya sebagai keyakinan agama, kita
bisa mengadopsi “Budaya biru” mereka untuk hadir ke tengah-tengah Masjid, Gereja
dan lingkungan hidup kita. Hidup bersama alam, menjaga alam, dan mengambil
seperlunya dari alam. Sebagaimana warga Bali dengan adatnya konsisten menolak
Reklamasi Teluk Benua.
“Ini adalah kampus, ini adalah
ruang akademik seterbuka-terbukanya. Ini tempat kita bicara Tuhan dan
sebagainya. Ini tempat kita bicara sebebas-bebasnya yang semua hal bisa
didiskusikan. Kita bicara thogut tapi bicara tentang NKRI tidak berani itu
adalah absurd”, Ucap Mas Dhandy di tengah diskusi. Jika orang yang mengaku
beragama, apalagi menyatakan ajarannya terbaik tapi tidak mampu membuktikan
konsepsi menjaga lingkungan hidup, bisa saya katakan kita sedang beragama hanya
sampai ditenggorokan.
Saat Hossein Askari, seorang Guru
besar politik dan bisnis Internasional di Universitas George Washington AS,
melakukan penelitian index nilai-nilai Islam, yang dilakukan di berbagai
negara. Dengan standar penilaian diantaranya tidak korupsi, pencapaian ekonomi,
kesenjangan sosial, menjaga lingkungan hidup dan lainnya. Dari 208 negara
memunculkan fakta mengejutkan bahwa tidak ada satupun negera berpunduduk
mayoritas Islam menduduki peringkat 25 besar. Negara tersebut antara lain adalah
Irlandia, Denmark, Luksemburg, Selandia Baru dan Swedia yang menempati 5 besar.
Persis dengan apa yang
disampaiakan Muhammad Abduh saat pertama ke Perencis mengatakan “Aku melihat
nilai Islam di sini walaupun tidak banyak orang Islam di sini, sebaliknya di
Timur Tengah banyak dijumpai orang Islam tapi banyak yang meninggalkan substansi
ajaran Islam”. Bisa jadi kita di negeri ini merasa bahwa kitalah yang paling
kaffah (sempurna) menjalankan ajaran agama yang kita yakini. Tapi yang
sebenarnya terjadi fakta lain, bahwa Masyarakat Samin, Baduy dan Kasepuhan
Ciptagelar adalah kelompok yang telah mampu menerjemahkan ajaran agama yang
kita yakini selama ini dalam perilaku berjamaah yang sebenarnya. Kita semua
perlu belajar dari agama-agama biru ini. Agama biru yang mampu membangun sikap kolektif (gotong
royong), saling berbagi, dan menjaga lingkungan sekitar. Karena sejatinya manusia dan alam adalah sahabat
yang saling membutuhkan bukan saling meniadakan.
0 komentar