Oleh: Dharma Setyawan
Dosen STAIN Jurai Siwo Metro
terbit di lampung Post Jumat 31 Juli 2015
Muhammadiyah bisa
disebut sebagai organisasi Islam paling tua setelah gaung Sarekat Islam kian
memudar. Sejak 1912 Muhammadiyah begitu fokus terhadap masalah sosial keagamaan
dan paling peduli terhadap mustad’afin. Teologi al-Maun tidak terbantahkan lagi
menjadi narasi yang selalu hidup untuk membangkitkan semangat pemuda
Muhammadiyah dari generasi ke generasi. Buku yang paling penting membahas
Muhammadiyah dalam kajian antropologi yaitu yang ditulis oleh Mitsuo Nakamura, The Crescent Arises Over the Banyan Tree
( Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin), ketika penulis masih di Jogja
tahun 2012 sempat menghadiri seminar Nakamura dalam pembaharuan edisi
penelitiaanya selama 40 Tahun di Kota Gede. Buku tebal tersebut memang begitu
mahal dengan harga 500 ribu rupiah. Nakamura adalah seseorang yang begitu tekun
meneliti Muhammadiyah, hidup membersamai warga di Kota Gede Jogja dan fasih
berbahasa Indonesia. Dengan umur yang setua itu, Nakamura selalu menyempatkan
hadir dalam acara-acara akbar Muhammadiyah untuk memberi pendapat terbaru
mengenai perubahan-perubahan yang terjadi di Muhammadiyah.
Hal yang penting dari
sumbangsih Nakamura bahwa Muhammadiyah mengalami pergeseran generasi dari
komposisi keanggotaan yang dulu berasal dari pihak swasta, pedagang batik,
pengrajin di Kota Gede kemudian Muhammadiyah bertrasformasi menjadi kaum
birokrat, cendekiawan atau begawan kampus. Berbeda dengan Muhammadiyah yang
pada awalnya anti terhadap pemerintahan Belanda dan menjadi pengusaha sukses,
kini Muhammadiyah pasca kemerdekaan sampai tepatnya 1970-an telah dikuasai oleh
para birokrat pemerintahan dan begawan universitas. Maka dinamisasi di tubuh
Muhammadiyah bukan hal baru. Di samping tetap meneguhkan sebagai gerakan ormas
yang terus mengembangkan amal usaha sampai menjadi terbesar di dunia.
Lalu kita melihat
perubahan regenerasi di Muhammadiyah mengalami hal yang baru. Martin Van
Bruinessen (2012) mengupas secara menarik bahwa Muhammadiyah telah tersusupi
gerakan Islam transnasional seperti tarbiyah/PKS dan Salafi. Fenomena yang menarik
bagi peneliti asal Universitas Ultrecht Belanda ini bahwa tarbiyah dan salafi
bukan lahir dari luar Muhammadiyah tapi merupakan proses regenerasi dan
reformasi atau proses pembaharuan dan pemurnian internal yang tidak pernah
berhenti sebagaimana proses pergeseran dari wiraswasta ke birokrat dalam
penelitian Nakamura. Bahkan ada juga angkatan muda yang kemudian memilih Hizbut
Tahrir juga intelektualisme Islam yang cenderung penentangnya menyebut mereka
“liberal” sebagaimana sering disematkan ke Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM).
Martin dengan lugas
menyatakan bahwa fenomena ini dikehendaki sendiri oleh internal Muhammadiyah,
tidak ada pemaksaan. Perkembangan ini akibat beberapa hal yaitu memudarnya
batas negara, kebijakan ekonomi neo-liberal, perkembangan teknologi (internet,
handphone) sehingga hilanglah sekat-sekat negara. Muhammadiyah bisa jadi lelah
dalam konflik dinamisasi pemikiran dan pilihan untuk terus melakukan purifikasi (pemurnian gerakan), misal
tahun 2006 dengan memecat kader-kader Muhammadiyah yang loyal kepada tarbiyah.
Dibandingkan dengan NU yang lebih terbuka hari ini, Muhammadiyah belum siap
terbuka terhadap pergeseran generasi setelah 1 abad.
Muhammadiyah bisa mengambil
sisi positif dalam fenomena 2 periode terakhir pemilu, NU yang lebih cair dan
bersama rezim hari ini adalah buah dari dinamisasi yang dicerna secara terbuka.
Sisi positif yang lain, Muhammadiyah berada di luar rezim juga telah melakukan
hal yang tepat yaitu dengan fokus melakukan jihad Konstitusi dengan komando
langsung di bawah kepemimpinan Din Syamsudin. Muhammadiyah dalam mendapati kaum
mudanya, mau tidak mau, suka atau tidak suka, anak muda Muhamamdiyah sudah
melintasi batas negara bangsa. Mereka lebih kompleks dan dipengaruhi oleh
banyak pemikiran mulai dari Salafi sampai hermeneutika dari gerakan
anti-globalisasi sampai liberalisme, dari perekonomian Islam sampai teologi
pembebasan. Pertanyaan Martin juga penting untuk dijawab bagi Muhammadiyah ke
depan yaitu mampukah Muhammadiyah bisa menjadi rumah peradaban bagi anak-anak
muda ini, tempat tukar pikiran, berdebat dalam agenda untuk aksi, wadah sosial
keagamaan, pemberdayaan ekonomi dengan syarat tanpa mengorbankan Identitas
Muhammadiyah?
Jihad
Kontitusi
Perang intelektual ini
jelas dan sudah ditabuh, beberapa UU Minerba, air, dan lainya berhasil dianulir
di Mahkamah Konstitusi. Muhammadiyah juga penting untuk melakukan strukturisasi
pemahaman jihad konstitusi ini pada level daerah. Sehingga keberpihakan
Muhammadiyah 1 abad setia memperjuangkan mustad’afin kembali menemukan gerak
tajdid (pembaharuan) yang genuin. Majelis-majelis di daerah yang mati suri,
harus menyala kembali sebagaimana (alm) Said Tuhuleley pernah mencontohkannya
di PP Muhammadiyah Jogja. Tokoh Muhammadiyah seperti Buya Syafii Maarif tidak
kalah militan masih setia menemani anak-anak muda Muhammadiyah di majelis
pemberdayaan masyarakat.
Terakhir yang paling
krusial bagi perjuangan Muhammadiyah selain jihad konstitusi adalah kesadaran
Muhammadiyah untuk membela rakyat yang sampai hari ini terus berkonflik dengan
perusahaan-perusahaan yang menindas hak rakyat, dan merusak lingkungan hidup.
Kader Muhammadiyah ikut menjadi bagian perjuangan melawan tirani perusahaan di berbagai
daerah. Misal konflik warga Rembang dengan perusahaan semen, melawan Proyek
reklamasi pantai di Bali, mengadvokasi konflik tanah dan pendidikan warga
moro-moro di Mesuji dan paling besar tantangan melawan perusahaan asing seperti
Freeport di Papua. Setelah hal-hal di atas terus setia kita lakukan dalam gerak
Islam berkemajuan Muhammadiyah, yakin tidak perlu kuatir lagi dengan narasi
transnasional yang seolah mengancam Muhammadiyah. Karena Muhammadiyah telah
lama membangun pondasi dan tidak berumah di atas angin, selamat Muktamar
Muhammadiyah ke-47 sang surya tetaplah bersinar!
0 komentar