Oleh: Dharma Setyawan (Warga Metro,
Pegiat Cangkir Kamisan)
Bagi saya pribadi, membaca kata
“cangkir” adalah hal yang spesial. Dari benda yang begitu akrab ditemui semua
orang yang terbiasa ngobrol sambil ngopi—atau minum hal lain agar bertambah lama—entah
dirumah, dikantor, cafe dan tempat lainnya. Lama saya berdiam diri satu tahun
silam mencari makna cangkir dalam adagium yang lain. Bincang Pikir (CangKir)
kemudian muncul dalam benak pikiran saya dan kata ‘hijau’ saat itu menjadi
penanda untuk selalu memperbaharui semangat perubahan. Yang oleh kawan-kawan
Komunitas kemudian sepakat menyebut Cangkir
Kamisan, komunitas yang lahir di bibir waktu, mengalir tanpa tanya(?). Kamisan
menjadi habitus baru menyeruak ke publik kota Metro yang kecil dan berteman
dengan aktivis-aktivis yang juga lama gelisah untuk berangkat membangun ide dan
berusaha keras mendaratkan ide.
Kami tidak boleh jumawa, satu
tahun telah terlewat banyak yang harus kita kerjakan ke depan dan kita rawat
yang sudah ada. Orang baik di kota ini masih banyak yang belum terpanggil
membersamai kami, sikap mementingkan sekte (aliran), strukturalisme (partai
politik) bahkan menggoyahkan ide-ide kultural yang kami sering bincangkan.
Misal suatu kali seorang anggota kami memilih setia membersamai komunitas
ketika ditawari masuk memimpin partai politik di kota ini. Apa yang kawan kami
dapat di komunitas sebenarnya tidak ada secara materi. Ya... apresiasi! saya
pribadi berikan pada mereka yang bertahan di tengah pahitnya berkomunitas. Saya
pribadi punya kritik terhadap beberapa kalangan.
Pertama, Anggota legislatif (Aleg). Apakah komunitas kami anti
terhadap partai politik, saya kira tidak. Komunitas ini mempermudah partai
politik untuk mengasah tajam narasi mereka sebagai representasi rakyat. Kita
tahu bahwa partai politik mengalami kemandulan kaderisasi. Dewan-dewan di kota
ini sangat tertutup dan saya berani katakan belum siap terhadap ‘ide-ide’ liar
yang lahir dari komunitas’. Kalau untuk menggarap beberapa peraturan daerah
untuk kepentingan kota “kawan-kawan akademisi” dikamisan telah terbukti menjadi
bagian perancang. Yang terpenting sebenarnya bukan pada kemampuan orang per
orang tapi pada kemauan para legislatif kota ini berpikir dengan sesuai standar
IPM warga Kota Metro yang tertinggi di lampung. Tentu kita butuh aleg yang
cerdas dan menyatu dengan warganya. Legislatif yang siap berkolaborasi,
egaliter (setara) berfikir, dan siap berbeda dengan pendapat warganya. Jadi
tradisi Cangkir (bincang pikir) bisa jadi menjadi diskusi-diskusi yang penuh
kewarasan karena egaliter sejak awalnya. Sedangkan legislatif umumnya sudah
tertinggal jauh narasi musyawarahnya.
Kedua, kepada para Akademisi kita. Beberapa kali akademisi kami
undang di Cangkir Kamisan mulai dari internasional hinggal titik lokal. Mulai
dari yang muda sampai yang tua, dari master sampai profesor. Tidak ada yang
spesial dari seorang akademisi. Kebanggaan intelektualisme adalah sebuah
ke-nihil-an saat seorang akademisi tidak membaur (berkolaborasi) dengan
intelektual lainnya. Intelektual organik—dalam narasi Gramci—mungkin terlalu
tinggi. Akademisi di kampus kota ini sering orang menyebutnya sebagai menara
gading. Maka saya juga tidak heran jika seorang kawan Kamisan yang heran saat
pemerintah daerah menyerahkan pembentukan rancangan draft Peraturan Daerah ke
Universitas Lampung yang tidak ada di kota ini. Menjadi akademisi tidak cukup
hanya berkutat, duduk di kampus, dan tidak mendaratkan idenya—misal penting
juga berpikir untuk kebaikan kota. Padahal saya pribadi malu dengan kawan yang
juga akademisi, intelektual organik, mengadvokasi ribuan rakyat moro-moro
selama 11 tahun tapi 5 jurnal internasioanalnya tersenyum bangga. Dan di kota
ini Profesor muncul tanpa karya bahkan nihil jurnal internasional. Puncak
intelektualisme adalah karya, itu adalah benar. Dan setiap orang adalah
intelektual bukan hanya pada level akademisi. Tagline Cangkir Kamisan memang
sudah tepat “semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah”. Kamisan
selalu mengajak akademisi-akademisi kota ini mulai membaur, membersamai
perubahan kota dan ikut andil merancang masa depan kota ini untuk mengejar
ketertinggalannya.
Ketiga, aktivis Mahasiswa. Saya tahu persis habbit para aktivis kota ini. Kalangan organisasi Islam lebih
banyak muncul dan bergeliat di kampus-kampus. Namun 5 tahun terakhir saya
pribadi pasca memimpin organisasi resah dan berpraduga, bahwa gerakan mahasiswa
akan menemukan anti-klimaksnya, kebosanan yang tiada berujung”. Public enemy yang kian tidak jelas
membuktikan itu. Belum lagi ego-sektoral kelompok organisasi mahasiswa yang
merasa sudah selesai saat menguasai Badan eksekutif Mahasiswa (BEM). Saya
pribadi melihat banyak dari mereka tidak lagi penting berdebat narasi lewat
tulisan di koran-koran, Seringkali okol lebih digunakan ketimbang akal. Kita
perlu keluar dari tradisi organisasi yang sangat konservatif ini menuju
organisasi yang membebaskan diri untuk berkarya lebih baik. Mulai memahami
bahwa diskusi adalah kebutuhan, menulis adalah tanggungjawab dan mangadvokasi
kepentingan publik adalah kewajiban bukan kebajikan. Saya mengutip ungkapan
Prof. Juwono Sudarsono bahwa,”Universitas akan menjadikanmu sarjana, master dan
doktor tapi pengetahuan akan menjadikanmu intelektual”. Saya mengajak semua
organisasi di kota ini untuk membuka cangkang egonya, mulai sadar pentingnya
kolaborasi dan bersama-sama berlomba dengan Anggota legislatif, akademisi
memahatkan narasi tentang kota.
Satu (1) Tahun Cangkir Kamisan
ingin terus bertekad mengalungkan sejarah perjuangan kota, kami punya Rumah
Bersama, kami punya media pojoksamber.com, kami punya Penerbitan buku Sai Wawai
Publishing, Kami punya lembaga riset Sai Wawai Institute, Kami punya 2 bank
Sampah dan mengajak komunitas lain mendirikan di wilayah mereka, Tahun ini kami
diamanahi mengolah 1 taman Ki Hajar dewantara agar ramai, kreatif dan lestari.
Kami punya kawan-kawan muda kreatif dari seni musik, sketsa, videomaker, para
penulis dan kami butuh ronin-ronin (relawan-relawan) baru untuk turun tangan
terhadap kota ini. Kami menolak hanya urun angan. Cangkir menolak tunduk
terkurung pada etalase sejarah yang singkat. Cangkir adalah narasi yang
panjang, pergumulan yang serius, dan kekeluargaan yang selalu berdiskusi
memikirkan kota. Dirgahayu Cangkir Kamisan yang ke-1. “Cangkir mari berbincang
berpikir!”
0 komentar