Oleh: Dharma Setyawan
Dosen STAIN Metro dan Direktur Sai Wawai Institute
Terbit di Lampung Post, Kamis 20 Agustus 2015
Pilkada—pemilihan
kepala daerah—serentak di Lampung memiliki beragam pertanyaan. Misal, seberapa
jauh pilkada dapat membangun kesadaran
untuk menjaga lingkungan hidup? Bagaimana peran partai politik peduli terhadap
masalah ekologi? Sejauh mana pemimpin melakukan pembelaan terhadap rakyat yang
berjuang mempertahankan hak hidup bersama alam? Sejauh 3 kali pemilu langsung
dilakukan di era reformasi, demokrasi di Indonesia punya wajah sumir. Selain
mengibarkan kebebasan, ketimpangan kaum elit dan alit, demokrasi telah mengorbankan
rusaknya ekologi. Pilkada kita masih mewajahkan diri pada proseduralnya dengan
sejumlah pelanggaran hak-hak alam yang kian parah. “Demokrasi spanduk”
begitulah penulis menyebut, kian masif memenuhi ruang publik yang terlampau
kacau dengan baliho-baliho dan gambar narsis di pepohonan, tempat ibadah, pasar
bahkan lembaga pendidikan.
Jika pun ada partai
politik yang seolah membangun agenda politik hijau misalnya, selalu hanya
menjadi jargon partai, bahkan belum menyatu dengan agenda gerakan yang nyata.
Sekolah politik, dalam pendidikan kader partai politik pun sering absen
terhadap masalah lingkungan hidup. Jadi pilkada serentak yang akan terjadi di
ratusan daerah di Indonesia, ternyata ada isu ekologi yang luput dari
pengelihatan publik. Kasus-kasus yang berhubungan dengan lingkungan hidup,
contohnya isu konflik tanah Moro-Moro Mesuji Lampung luput dari advokasi partai
politik, konflik tanah di Rembang Jawa Tengah dengan perusahaan Semen,
Reklamasi Teluk Benua di Bali, dan kasus lain yang luput diberitakan media saat
musim pilkada seperti ini. Pilkada seharusnya menjadi refleksi bersama untuk
membangun kesadaran politik yang memihak bagi keberlanjutan ekologi.
Illian Kapoor (2001) menyatakan
munculnya kesadaran akan rentannya bencana alam yang diakibatkan perilaku rakus
dalam manajemen sumber daya alam menciptakan pergeseran paradigma dalam tata
kelola sumber daya dari semula economic
development menuju sustainable
development pada pertengahan tahun 1990-an. Alam mulai mendapat pengakuan
politis dalam studi politik maupun studi ekonomi bahwa sudah selayaknya alam
dan manusia merupakan entitas organisme yang seharusnya hidup bersama di bumi
ini.
Perhatian publik akan
pentingnya menjaga lingkungan hidup telah banyak digaungkan di lembaga
pendidikan, lembaga kesehatan, iklan televisi, media cetak dan lainnya. Namun
konflik di lapangan dalam berbagai kasus seolah bukan tanggung jawab partai
politik. Partai cukup berkampanye dan rakyat menyelesaikan secara mandiri entah
dengan demonstrasi, bentrokan berdarah sampai hilangnya nyawa.
Eko-Populisme?
Apa kaitan pilkada
dengan eko-Populisme? Pilkada adalah agenda peralihan kekuasaan dalam arena
pertarungan yang rentan. Dalam cita-cita penegakan demokrasi politik, sering
kita melupakan agenda demokrasi ekonomi sebagaimana Bung Hatta jauh hari
sampaikan. Eko-Populisme merupakan agenda politik masyarakat lokal yang
berorientasi utama penyelamatan kesejahteraan dan kemakmuran bersama masyarakat
tersebut dengan tetap mempertahankan kontrol kendali atas keberadaan sumber
daya alam berada di pihak mereka. Saat rakyat kehilangan kesadaran atas
populisme kekuasaan yang memabukkan, saat itulah sebenarnya menyerahkan batang
leher kelangsungan lingkungan hidup pada demokrasi elit. Beberapa daerah di
Indonesia sudah mengalami akibatnya, bagaimana hasil pilkada tidak memberikan
dampak signifikan bagi keberlangsungan perbaikan ekologi, malah sebaliknya.
Gerakan eko-populisme
ini sangatlah erat kaitannya dengan praktik pembangunan yang secara
berangsur-angsur mulai menggerogoti kekayaan alam untuk menciptakan pertumbuhan
ekonomi. Berbagai kasus menarik gerakan eko-populisme dilakukan oleh masyarakat
dunia ketiga, baik itu di India, Brazil, Filipina, maupun Nigeria. Tercatat,
munculnya gerakan ekopopulisme ini diinsiasi oleh gerakan Chipko di India.
Chipko di India sendiri dilakukan komunitas masyarakat adat bernama bernama
Tehri Garhwa. Komunitas Garhwa menganggap bahwa hutan merupakan ibu karena
hutan tempat menyediakan air, bercocok tanam, penyedia bahan bangunan, maupun
penyedia sumber makanan bagi masyarakat sehingga harus dijaga kelestariannya
supaya hutan terus bisa memberikan sumber penghidupan bagi komunitas
masyarakat.
Pada dasarnya
masyarakat Indonesia memiliki segudang ‘local
genius’ tentang penyelematan lingkungan. Nilai-nilai adat yang sangat pro-terhadap
keberlangsungan ekologi. Namun yang menjadi kendala adalah bagaimana kesadaran
terhadap nilai budaya—terutama tentang menjaga ekologi—dibangkitkan kembali
menjadi kesadaran kolektif. Maka membangun eko-populisme harus muncul dari
kesadaran budaya dan mulai dari gerakan grass
root. Saat warga kota sibuk dengan demokrasi yang kian absurt itu,
masyarakat lokal kembali menggenggam nilai-nilai budaya untuk mendidik generasi
yang kehilangan local wisdom-nya. Masyarakat Samin misalnya di bawah Gunung
Kendeng, di sekitaran Pati dan Rembang Jawa Tengah mereka membangkitkan
ajaran-ajaran adat tentang menjaga lingkungan. Mereka melakukan gerakan aktif
tanpa kekerasan melawan pabrik semen yang mengancam hak air bagi kehidupan
seluruh masyarakat di sekitarnya. Kehebatan masyarakat Samin, mereka mampu
menggerakkan warga lain di luar komunitasnya. Ajaran “sedulur sikep” persaudaraan yang erat dalam kehidupan mereka
menjadi gerakan eko-populisme yang militan. Perjuangan mereka sampai hari ini
lebih dari 1 tahun memasang tenda perjuangan di dekat pembangunan Pabrik semen.
Tidak kalah militan masyarakat Hindu di Bali dengan kesadaran nilai-nilai adat
menolak reklamasi Teluk Benua yang mengancam ekosystem laut di sekitar Bali.
Gerakan eko-populisme tersebut terekam apik dalam Watchdoc Dokumenter karya
Dhandy Dwi Laksono dan Suparta Az dalam karya “Ekspedisi Indonesi Biru”. Apa yang mereka lakukan adalah bagian
dari pendidikan eko-populisme.
Dalam pilkada ini kita
tidak boleh diam, kesadaran kita untuk melakukan pendidikan eko-populisme
adalah kewajiban bukan kebaijkan. Dengan pendidikan eko-populisme ini pelan
namun pasti kita semua dapat menahan laju demokrasi yang tidak sejalan dengan
lingkungan hidup. Sebagaimana Bung Hatta
(1932) sampaikan bahwa,“dengan mendidik kita akan mencapai suatu organisasi
yang teguh. Agitasi mudah membangkitkan kegembiraan hati orang banyak, tetapi
tidak membentuk pikiran orang, karena kerap kali kegembiraan sementara itu
lenyap dengan lekas. Agitasi baik pembuka jalan! Didikan membimbing rakyat ke
organisasi! Sebab itu usaha kita sekarang: pendidikan!”.
0 komentar