Oleh: Dharma Setyawan
Peneliti Sai Wawai Institute
“Sedih sekali saya mendengar kawan-kawan SD
Moro-Dewe mulai minggu depan harus bersekolah di sekolah induk yang jaraknya 20
kilo meter. Induknya yang lama masih di Tulang Bawang Barat, seluruh usaha
telah dilakukan, advokasi lewat KOMNAS HAM, membuat film kampanye, demonstrasi.
Dukungan media lokal, nasional bahkan asing belum juga mengubah keputusan
Bupati. Saya mendapat kabar, inilah pilihan terbaik yang dapat ditempuh karena
anak-anak akan segera ujian, kalau mereka tidak mengambil langkah ini, mereka
tak bisa naik kelas. Masyarakat patungan untuk menyewa mobil Truk mengantar
jemput anak-anak tersebut sekolah” (OHW).
Kata-kata
di atas adalah pesan yang muncul dari seorang kawan—sengaja disamarkan namanya—di
group Komunitas Cangkir Kamisan yang mengabarkan berita duka pendidikan di
kawasan Moro-Moro Mesuji. Penulis cukup memahami kesedihan kawan yang kami tahu
beliau adalah orang yang lama hidup membersamai masyarakat yang tidak kunjung
usai dihantam badai kekuasaan yang pongah. Sejak 2006 beliau masih menempuh
kuliah sarjana politik semester akhir di Unversitas Lampung memilih datang
sendirian di daerah konflik tanah yang telah banyak memakan korban tersebut.
Terhitung 11 Tahun Bung OHW terus berjuang bukan hanya soal membantu
mengadvokasi tanah warga tapi juga hak politik, membersamai hidup bersama
warga, mendampingi mereka untuk solid berorganisasi dan sampai dirinya menempuh
Doktor di Universitas Diponegoro tetap setia berkunjung ke Moro-moro sebuah
entitas masyarakat yang tidak ada hubungan darah sedikitpun.
Penulis
menyaksikan sendiri saat Bung OHW mengajak bersama kawan-kawan Cangkir Kamisan
untuk mengadvokasi pendidikan yang akan ditutup oleh Bupati Khamamik. Sekolah yang didirikan dari tangan warga
sendiri, sebuah bangunan yang sebenarnya tidak layak umumnya untuk sarana pendidikan
di sebuah negara yang sudah merdeka 60 tahun. Jauh sebelum itu Bung OHW adalah
aktivis Agra yang fokus membela rakyat atas tanah. Jauh sebelum soal pendidikan
warga Moro-moro adalah warga yang mendiami lahan Register 45 dan mengalami
konflik vis a vis dengan perusahaan. Ribuan orang begitu merindukan Bung OHW
yang terhitung 7 bulan tidak menengok mereka karena sibuk membangun rumah
bersama di Komunitas Cangkir Kamisan.
Penulis
misalnya tertegun mendengar seorang kakek tua yang sejak tahun 1997 mulai
datang di kawasan tersebut berucap,’’Bung—memanggil OHW—kok lama gak datang ke
sini, kami tidak tenang kalau lama gak dikunjungi.” Penulis cukup memahami
beban psikologis ribuan warga Moro-moro yang hidup di negara merdeka tapi tidak
memiliki hak atas tanah, Kartu Tanda Penduduk dan terakhir diancamnya
pendidikan anak-anak oleh Sang Bupati. Perlu publik tahu bahwa Bung OHW pernah
ditawari Perusahan Silva Inhutani yang menguasai hutan produksi dengan tawaran tanah
seluas 100 hektar asal meninggalkan warga yang berjuang mempertahankan tanah.
Penulis
tidak ingin terlalu jauh membahas konflik tanah yang sudah lama menjadi alat
kepentingan kekuasaan. Kini kita semua dihadapkan pada kekuasaan yang
jelas-jelas melakukan upaya pembodohan struktural terhadap keturunan warga
Moro-moro. Dalam hal ini kekuasaan punya kepentingan memecah belah kesolidan
rakyat yang selama ini berjuang mandiri mendirikan sekolah tanpa dibantu
pemerintah. Pemerintah bukannya berterimakasih kepada rakyatnya malah berupaya
menutup sekolah. Ketakutan Bupati sangat beralasan karena sangat mungkin kecerdasan
anak-anak Moro-Moro kelak dapat mengancam perusahaan dan kekuasaan yang
despotik.
Nelson
Mandela berucap,”pendidikan adalah alat yang sangat efektif mengubah dunia”.
Ternyata negara ini tak kunjung siuman memaknai pentingnya pendidikan sebagai
kekuatan membangun bangsa dan negara. Khamamik Bupati Mesuji mungkin juga
seorang terpelajar, setidaknya dia juga mesti memahami untuk menjadi seorang
Bupati dia harus menempuh pendidikan. Bahwa apa yang dia dapat hari ini menjadi
seorang pemimpin adalah proses panjang pendidikan yang ditempuh dari lapangan
formal dan non-formal. Emosi kita semua meledak dengan kebijakan bupati yang
jelas melanggar Pasal 31 Undang-undang tentang
hak pendidikan warga. Hassan Hanafi dalam bukunya Dari Akidah ke
Revolusi menyatakan bahwa,”kebodohan kadangkala tercermin pada sikap tidak
mengenal diri sendiri dan kesadaran sejarah yang kita jalani, tidak adanya
program nasional yang dicita-citakan rakyat, memintarkan rakyat serta membangun
pondasinya, hingga akhirnya mereka hanyalah sebuah bola hampa tanpa tahu
tradisi dan kesadaran sosial.”
Sebagaimana
usaha telah dilakukan dengan membuat film dokumenter yang diputar di 40 kota
dan 5 negara, mempetisi pihak kementrian pendidikan dan kehutanan, melakukan
demonstrasi, melapor ke KOMNAS HAM, dan menjual kaos untuk pendidikan anak
Moro-Moro, menggalang dana tetap tidak mengetuk hati sang Bupati. Negara jelas
absen dengan persoalan ini. Namun kami tidak menyerah, kami akan memproduksi
film lanjutan sebagai sebuah perlawanan mengabarkan kepada dunia tentang nasib
pendidikan anak-anak Mesuji. Terakhir radio SBS australia me-wawancara-i bung
OHW tentang Ekslusi Pendidikan semoga ikhtiar ini disambut oleh banyak kalangan
untuk menggugat Bupati Mesuji dan tidak menutup sekolah SD Moro-Dewe. Penulis
ingin menutup tulisan ini dengan ucapan Bung Karno,”Orang tidak bisa mengabdi
kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia, Tuhan bersemayam
digubuknya si miskin.”
0 komentar