Oleh: Dharma Setyawan
Direktur Sai Wawai Institute
Suatu hari dalam sebuah
sambutan Bung Karno berpidato,”dengan
sedikit bitjara banjak bekerdja, Muhammadijah telah memodernisasi tjara mengembangkan
Islam, sehingga di seluruh Tanah air Indonesia, mulai Sabang sampai Merauke,
telah berdiri tjabang-tjabang dan ranting-rantingnja. Selaku seorang jang
pernah berketjimpung dalam lingkungan Muhammadijah, saja ingin berpesan kepada
saudara-saudara, supaja selalu berpegang teguh kepada motto :”banjak
bekerdja”!....Inilah sebabnja, Muhammadijah berkumandang dan menjadi besar.”
dalam buku “Soekarno dan Muhammadiyah.” (Faozan Amar : 2009)
Jauh
sebelum Presiden Jokowi mengumandangkan kata ‘kerja, kerja dan kerja’ untuk
semua rakyat Indonesia, Bung Karno mendahului diktum “kerja” itu ke telinga
warga Muhammadiyah. Sejak lahirnya, dimana sejarah mencatat tanggal 18 November
1912 di Kauman Yogyakarta. Muhammadiyah didirikan oleh seorang anak khatib masjid
besar keraton Yogyakarta, bernama Muhammad Darwis—kemudian kelak Darwis berganti
nama menjadi Ahmad Dahlan. Darwis hidup[ di lingkungan tradisi keraton yang
menjadi penegak kekuasaan lokal, namun disergap oleh kolonialisme pemerintahan
Hindia Belanda yang selalu mengintai. Tradisi Jawa yang kental itu ditunjukkan
dengan pakaian-pakaian resmi pendiri Muhammadiyah saat itu, dengan busana lengkap
adat Jawa. Fakta ini juga menjadi penanda bahwa Muhammadiyah melewati konteks
sejarah yang tidak kaku, melewati sekat tradisi yang sangat primordial, dan
kemudian bangkit dengan semangat Islam modernis.
Maka
modernis ini yang menjadi pembeda Muhammadiyah dengan organisasi lain pada saat
itu. Kata ‘modernis’ berhubungan dengan semangat berkemajuan, berkelindan dengan
semangat pengetahuan ilmiah. Pelan namun pasti, Muhamamdiyah berjuang
menghilangkan musuh kemajuan yaitu TBC--tahayul,
bid’ah dan churafat (ejaan lama) yang telah lama menjadi tradisi masyarakat
Jawa. Bahkan Tan Malaka (1942) dalam
buku Madilog menjelaskan untuk membangun kesadaran rakyat,” jauhkanlah diri
kita sejauh-jauhnya dari dasar berfikir tahayul, mistik dan teman-temannya.
Sikap tahayul ini tentu berlawanan dengan makna ‘kerja’ yang menjadi semangat
pendiri bangsa saat itu. Tan Malaka mencatat bahwa Pemerintah Hindia Belanda
demi mendapatkan tenaga kerja yang murah, mereka menjadikan kuli-kuli kontrak
sebagai manusia bodoh, terikat dan berwawasan sempit. Mereka harus memeras
keringat untuk hidup, sehingga mereka tidak memahami makna kehidupan dan
pembebesan pada manusia.
Jadi
kerja bagi Muhammadiyah bukan hanya sekedar kerja. Kerja bagi Muhammadiyah
berpijak pada semangat ‘tajdid’. Sedangkan
‘tajdid’ Muhammadiyah sebagai gerakan
sosial keagamaan, dari segi bahasa ‘tajdid’ berarti pembaruan dan dari segi
istilah tajdid memiliki dua arti. Pertama,
tajdid dalam arti purifikasi—atau pemurnian ajaran kembali ke tauhid al-quran
dan as-sunnah—kata ini kemudian dijadikan jargon dalam gerakan pembaruan Islam
agar terlepas dari bid'ah, tahayul
dan khurafat. Kedua, tajdid dalam arti “pembaharuan” dimambil dari bahasa Arab
yang berasal dari kata "taddada-tujaddidu-tajdiidan"
yang artinya memperbarui-peningkatan-pengembangan, modernisasi dan yang semakna
dengannya. (Sutarmo: 2005).
Kerja
dengan Tajdid
Muhamamdiyah terus bekerja
membentuk masyarakat kota (urban).
Melalui semangat ‘teologi al-maun’,
Muhammadiyah berusaha mengentaskan permasalahan sosial. Semangat ‘al-maun’ ini yang kemudian melahirkan
Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) cikal bakal ratusan Rumah Sakit Muhammadiyah
dan panti sosial yang bertebaran di Indonesia saat ini. Kerja dengan ‘tajdid’
memiliki dampak sosial yang sangat luas. Muhammadiyah tercatat sampai hari ini
memiliki amal usaha terdiri dari; TK/TPQ 4.623; Sekolah Dasar (SD)/MI 2.604; Sekolah
Menengah Pertama (SMP)/MTs 1.772; Sekolah Menengah Atas (SMA)/SMK/MA 1.143; Pondok
Pesantren 67; Jumlah total Perguruan tinggi Muhammadiyah 172; Rumah Sakit, Rumah
Bersalin, BKIA, BP, dan lain-lain 457; Panti Asuhan, Santunan, Asuhan Keluarga 318;
Panti jompo 54; Rehabilitasi Cacat 82; Sekolah Luar Biasa (SLB) 71; Masjid 6.118;
Musholla 5.080; Tanah 20.945.504 M².
(sumber: Muhammadiyah.or.id)
Maka menarik saat
Presiden Jokowi membacakan pidato dalam pembukaan Muktamar Muhammadiyah ke-47
(03/8) di Makassar, Sulawesi Selatan. Beliau mengapresiasi dan mengucapkan
terimakasih yang mendalam atas kerja-kerja Muhammadiyah dalam 103 tahun ini.
Presiden berucap,"sudah berapa juta
bayi yang lahir di RS Muhammadiyah? Berapa juta siswa yang meniti pendidikan di
sekolah Muhammadiyah? Kita bisa melihat begitu banyak kontribusi Muhammadiyah
untuk negara kita. Muhammadiyah telah cukup lama dikenal dengan gagasan dan
kreatifitas berkemajuan. Hal ini membuat Muhammadiyah bisa berkontribusi di
berbagai kota, bahkan hingga pedesaan. Dengan pandangan Islam berkemanjuan dan
berbagai modal sosial. Muhammadiyah dan Aisyiyah berhasil menjadi motor
kemajuan bangsa."
Kerja Muhammadiyah sudah
dilakukan sejak pra-merdeka hingga mengantar ke pintu gerbang kemerdekaan
Indonesia, menjadi bukti sekaligus saksi sejarah. Mulai dari presiden Soekarno
sampai Jokowi Muhammadiyah tetap setia dan bekerja untuk Islam berkemajuan di
bumi Nusantara. Maka ‘tajdid’ bekerja dalam narasi Muhammadiyah tetap sesuai
dengan pesan KH Ahmad Dahlan,”Muhammadiyah kini, lain dengan Muhammadiyah yang
akan datang. Maka teruslah bersekolah menuntut ilmu pengetahuan dimana saja. Jadilah
Guru, kembali kepada Muhammadiyah, Jadilah Dokter, kembali kepada Muhammadiyah,
Jadilah Meester, insinyur dan lain-lain, dan kembalilah kepada Muhammadiyah.
Mereka-mereka yang
lahir dari tradisi Islam modernis kini bertebaran memberi manfaat untuk ummat Islam,
Indonesia bahkan dunia. Matahari Muhamamadiyah telah bersinar lebih dari 1
abad, Islam berkemajuan adalah potensi yang dimiliki Indonesia dalam pergaulan
internasional. Berangkat dari kesadaran, berjuang meraih pengetahuan dan
bekerja sebagai kewajiban kemanusiaan. Sebagaimana W.S. Rendra (1984) berucap,”Kesadaran adalah Matahari/ Kesabaran adalah
Bumi/ Keberanian menjadi cakrawala/ Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata/”
Selamat datang pemimpin baru Sang Surya, tetaplah bersinar matahari Islam berkemajuan,
semoga cahayamu semakin menerangi bangsa Indonesia.
Oleh: Dharma Setyawan Direktur Sai Wawai Institute Suatu hari dalam sebuah sambutan Bung Karno berpidato,” dengan sedikit bi...