Oleh : Dharma Setyawan
Dosen STAIN Metro, Pegiat
Diskusi Kamisan Cangkir
Terbit di http://lampost.co/berita/jokowi-kerja-dan-trisakti
Jokowi
telah melakukan re-born terhadap
makna ‘kerja’. Narasi ‘kerja’ yang pernah dicetuskan Bung Karno 55 tahun yang
lalu, kini mulai ber-api lagi dan menarik perhatian banyak pihak. Kabinet Kerja
adalah kabinet yang pernah dibangun Bung Karno saat perdebatan ideologi makin
runcing, konflik kepentingan antar partai politik kian bringas dan resistensi
antar kelompok di daerah makin meluas. Kabinet “kerja’ ini juga mengingatkan
kita tentang ucapan Soekarno (1959) bahwa dengan kabinet kerja adalah untuk
menandai diakhirinya Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin.
Pasca
ditetapkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 terjadi beberapa perubahan kebijakan.
Dilakukan pembentukan “Kabinet Kerja” dengan Tri program yaitu melengkapi
sandang pangan rakyat, menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara, melanjutkan
perjuangan menentang imperialism untuk mengembalikan Irian Barat. Menurut Herbert Feith (1995) “pada oktober 1956,
Presiden Soekarno mendesak agar partai-partai politik dikubur, akibat
persaingan ideologi dan kepentingan kepartaian. Demokrasi liberal diganti
dengan Demokrasi Terpimpin. Namun, baru pada 1958, Soekarno secara mantap ingin
menegaskan berlakunya Demokrasi Terpimpin setelah mendapat dukungan angkatan
darat.”
Pada
Juli 1959, secara resmi Soekarno mengembalikan negara ke bawah naungan
Undang-Undang Dasar 1945. Sebelumnya bulan Februari 1957 Soekarno mengumumkan konsepsinya
bahwa negara harus menerapkan system pemerintahan baru dengan Kabinet Gotong
Royong yang terdiri atas semua Partai Politik, dan pembentukan Dewan Nasional
sebagai Wakil Kelompok-kelompok Fungsional. Bilveer
Singh (1996) menuliskan dalam buku “Dwi Fungsi ABRI” bahwa setelah
berlakunya Dekrit 5 Juli 1959, keterlibatan milter beserta wakil-wakilnya dalam
politik dan lembaga politik meluas dengan cepat. Ketika Soekarno mengumumkan
Kabinet Kerja 10 Juli 1959, sepertiga menteri berasal dari militer.
Kerja Era
Jokowi
Kerja
bukan sesuatu yang metafor, Jokowi ingin membuktikan bahwa kabinet ‘kerja’ yang
dibangunnya adalah tindankan nyata atau aksi untuk menyelamatkan negeri ini
dari kemalasan berdikari. Sebagaimana Khalil Gibran berucap dengan puisi”, Kerja adalah kerja yang mengejawantah/dan
jika kau tiada sanggup bekerja dengan cinta/hanya dengan enggan/maka lebih
baiklah jika engkau meninggalkannya/lalu mengambil tempat di depan gapura
candi/meminta sedekah dari mereka yang bekerja dengan suka cita/.
Jokowi
hidup ditengah bangsa yang hampir absen tentang narasi besar Soekarno. Hadirnya
Jokowi juga tidak memberi representasi Sukarnoisme di tubuh PDI P partai yang
menunjuk dirinya saat mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia.
Jokowi adalah orang—yang kita semua tahu—tidak mampu melakukan sihir dengan
pidato-pidato layaknya singa podium seperti Soekarno. Tapi Jokowi—dalam gestur
politik yang dibangun selama ini—adalah wajah kesederhanaan yang paling mudah
dipahami oleh para wong cilik. Sepertinya rakyat begitu yakin bahwa dengan
memilih Jokowi, adalah bentuk ekspresi rakyat yang melihat diri mereka ada pada
sosok mantan wali kota solo tersebut. Dengan modal blusukan di Solo dan Jakarta,
Jokowi cukup berhasil meyakinkan publik—media, intelektual, partai politik,
pengusaha dan tentu wong cilik—bahwa dirinya bersama Jusuf Kalla mampu membawa
Indonesia untuk lebih baik.
Dalam
‘Kabinet Kerja’ yang dipimpin Jokowi, PDI P sebenarnya ingin menyadarkan
kembali ingatan publik kepada kabinet kerja yang pernah dibangun Soekarno.
Kabinet ini setidaknya punya pekerjaan rumah masa lalu yang belum tuntas dan
harus benar-benar di selesaikan yaitu pertama,
sandang pangan rakyat; kedua,
menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara. Contoh nyata yang mendapat
perhatian publik adalah rencana kebijakan pemerintahan Jokowi yang akan
menaikan harga bahan bakar minyak (BBM), harus dikaji secara matang apakah
sebagai solusi untuk meningkatkan terpenuhinya sandang pangan rakyat atau malah
menyengsarakan rakyat? Karena masalah yang dihadapi pemerintahan Jokowi
sebenarnya lebih kompleks dari masalah yang dihadapi Bung Karno saat itu.
Penduduk yang semakin bertambah, sumber daya alam yang kian dieksploitasi dan
campur tangan asing yang jelas lebih canggih adalah tantangan nyata pemerintahan
Jokowi di masa kini.
Kerja dengan Tri Sakti?
Kalimat
magis Tri Sakti kini butuh pembuktian nyata, Berdaulat secara politik,
berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan. Sejumlah
Kementerian yang dibentuk Jokowi berbeda dengan kementerian yang dibentuk SBY.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang misalnya, adalah contoh kementerian yang
memberi optimisme ke rakyat untuk menuntaskan konflik agraria yang telah
berlangsung pasca tragedi 1965. Kementerian ini secara khusus dibentuk setelah
sekian lama tidak ada upaya dari beberapa Presiden untuk menuntaskan kasus
agraria. Kementerian Pendidikan menengah atas dan perguruan tinggi yang saat
ini di pisah adalah upaya untuk tercapainya cita-cita pendidikan yang lebih
fokus.
Narasi
‘kerja kontemporer’ Jokowi semestinya sejalan dengan konsep Tri Sakti. Kerja
adalah praktik langsung, bukan hanya blusukan di lapangan. Kerja bukan dagangan
politik atau jargon emosional ala 100 hari umumnya pemimpin melakukan gebrakan.
Kerja dengan Tri Sakti harus lebih bernyali, melebihi nyali Bung Karno di masa
lalu. Kerja Jokowi harus berani untuk segera mengganti mereka-mereka yang tidak
kompeten di kementerian. Bukankah sejak awal Jokowi berucap bahwa koalisi ini
adalah tanpa syarat? Maka Jokowi dalam pidatonya pantas berucap dengan
semangat,’kerja…kerja…kerja…”. Kerja Jokowi adalah ibadah untuk Indonesia,
sebagaimana Pramoedya Ananta Toer mengatakan dalam novel “Rumah Kaca” “Selama orang masih suka bekerja, dia masih
suka hidup dan selama orang tidak suka bekerja sebenarnya ia sedang berjabatan
tangan dengan maut” Selamat bekerja Pak Jokowi!
0 komentar