oleh : Dharma
Setyawan
Dosen STAIN Metro, Ketua
Komunitas Hijau
Terbit di Lampung Post, Jumat 29 Agustus 2014
“Kalian
pemuda, kalau kalian tidak punya keberanian, sama saja dengan ternak karena
fungsi hidupnya hanya beternak diri (Pramoedya Ananta Toer)
Kita
masyarakat Lampung sedang berisik bicara soal pemimpin muda. Tentang
‘muda’—semangat, umur dan rekam jejak—menjadi ukuran dan persoalan serius di
politik lokal Lampung. Kita tidak sedang bermain dadu dalam politik, kita
sebaiknya berangkat dengan keseriusan yang nyata. Pelbagai nada optimis dan
pesimis sedang diperbincangkan jika menyangkut orang muda. Orang banyak
menyebut semangat pemuda adalah semangat sedang tumbuh bukan semangat kematangan
sebagaimana yang selalu diyakini para kaum tua. Lebih tertantang ‘muda’ selalu
dianggap modal semangat yang belum
dibuktikan dengan tindakan nyata. Soal muda kembali diragukan hadirnya pasca
terpilihnya M. Ridho Ficardo sebagai Gubernur Lampung. Tidak tanggung-tanggung
pemuda tampan ini dinobatkan sebagai Gubernur termuda se-Indonesia dengan umur
34 tahun. Setidaknya 2014 ini riuh ‘muda’ menjadi trend politik tersendiri
untuk mewujudkan ide segar bahwa ‘yang muda yang memimpin’. Sebelumnya, pemimpin
muda muncul sebagai bentuk kontestasi politik yang diragukan. Pada pemilu 2009
misalnya pemimpin muda masih dianggap hal yang remeh akibat belum ada thesis
yang dapat dipertanggungjawabkan apabila yang muda memimpin daerah. Jika
menilik sejarah, Soekarno memimpin Indonesia di umur 44 tahun, Mohammad Hatta
menjadi wakil presiden berumur 43 tahun, Sutan Sjahrir menjadi perdana menteri
pertama diumur 34 tahun, dan sejarah pemimpin termuda adalah Arnold Baramuli
menjadi Gubernur Sulawesi Utara tahun 1960 pada umur 29 tahun. Walaupun saat
kemerdekaan pemilihan pemimpin belum seperti sekarang—demokrasi rakyat—namun semakin
banyak muncul pemimpin muda diberbagai daerah. Sebut saja Ridwan Kamil Bandung
42 tahun, Bima Arya Sugiharto Bogor 41 tahun, Nurdin Abdullah Bantaeng 49
tahun. Nama-nama di atas memberi optimisme kepada publik atas prestasi awal dan
hadirnya asa perubahan yang lebih baik.
Laku Politik Ridho
Ridho
punya pekerjaan rumah yang tidak bisa dianggap enteng. Tantangan utama Ridho
adalah memimpin propinsi tanpa ada rekam jejak kepemimpinan di kabupaten atau
kota di daerah Lampung. Berbeda dengan Ridwan Kamil yang memulai dari wilayah
kota Bandung atau Tri Rismaharini memulai dari Surabaya. Ridho ditantang
memperbaiki Lampung dengan segala permasalahan yang berada di kabupaten kota.
Sinergitas dengan pemimpin-pemimpin kabupaten dan kota inilah yang harus
ditekuni pelan namun pasti agar Lampung berbenah dan terus berbenah. Jika
Ridwan Kamil bermula membangun ide
dengan gerakan Indonesia
berkebun, komunitas urban, arsitek dan komunitas-komunitas pemuda lainnya.
Ridho berangkat dari Partai Politik yang konsistensi programnya jamak sulit dirasakan
oleh publik. Ridwan Kamil sadar bahwa komunitas muda Bandung adalah potensi
besar perubahan. Muda dan kreatifitas dipadukan untuk membuat perubahan
berangkat dari bawah. Berbeda juga dengan Jokowi, Ridho adalah orang yang yang
terlihat elitis—perilaku politik yang masih dirasakan tingkat grass root. Jokowi dengan perilaku apa
adanya di Kota Solo mampu menarik simpati warga Jakarta sehingga citra politik
Jokowi lebih moncer sampai kini level nasional. Begitupun dengan Nurdin
Abdullah di Bantaeng, posisi Ridho bisa dikatakan hampir lebih baik tapi
programnya kalah baik dengan Prof. Lulusan Jepang tersebut. Setidaknya Lampung
adalah level Propinsi yang posisinya lebih terkenal dari pada daerah Bantaeng yang
sangat tidak familiar. Namun secara jaringan Nurdin lebih progresif dengan
bekerjasama dengan Jepang untuk membantu program-progam di daerah. Relasi
Nurdin yang jauh di Timur Indonesia di jawab dengan jaringan level dunia. Ridho
dengan beberapa pemimpin muda di atas adalah satu gambaran yang bisa dikatakan
tidak seimbang antara level propinsi dan kabupaten kota. Tapi menyangkut muda
‘Ridho’ adalah harapan kaum muda dan masyarakat Lampung yang tidak dapat dibiarkan
begitu saja.
Idealisme Ridho
Dengan
banyaknya pemimpin muda di daerah yang terpilih. Publik mencoba merespon bahwa
era pemimpin muda tidak dapat disanggah lagi. Yang harus dilakukan adalah
menjaga dan terus mendorong bahwa muda itu identik dengan perubahan. Narasi
yang dibangun Ridho harus menjangkau publik dengan cepat dan tepat. Optimisme
Ridho untuk konsisten dengan apa yang akan dibangun dan apa yang telah
diputuskan harus dikawal dengan benar. Sebagai contoh program membangun
transportasi Kereta Api untuk menghubungkan antar kabupaten. Dan juga keputusan
menghentikan sementara proyek Kota Baru yang digagas oleh Gubernur lama. Pekerjaan
Rumah Ridho tersulit adalah mentransformasikan ide-idenya untuk menjangkau
komunitas-komunitas sehingga pembangunan terjadi bukan hanya dari atas, tapi juga
berangkat dari bawah. Muda yang disandang Ridho adalah idealisme yang laiknya
dibuktikan dengan kerja. Sebagaimana Tan Malaka berucap,“Idealisme adalah
kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda”. Selamat bekerja Bung Ridho!
0 komentar