oleh : Dharma
Setyawan
Ketua Komunitas Hijau, Alumnus S2 UGM
Terbit di Gagas Voting, Lampung Post 20 Agustus 2014
Terbit di Gagas Voting, Lampung Post 20 Agustus 2014
Kata, Kota, dan Kekuasaan |
Ribuan
‘kata’ berhamburan saat kampanye. ‘Kata’ menjadi jajanan strategis dalam
membantu proses berlangsungnya gesekan politik yang kita rasakan. Anasir-anasir
yang muncul dalam ruang ‘kata’ memiliki dampak negatif yang panjang.
Lebih-lebih di kota dimana ‘kata’ memberikan janji-janji kesejahteraan
bersamaan dengan jenuhnya kemiskinan, trotoar, kemacetan, sampah, baliho para caleg,
anak jalanan, dan kota yang telah lama sesak nafas. Produksi ‘kata’ di tubuh
kota juga semakin tak terbendung. Mereka-mereka yang memiliki kemampuan
‘berkata’ laku untuk diperjualbelikan bersama dengan meriahnya ruang kampanye.
Ternyata ‘kata’ tidak mengenal bulan puasa, menahan diri dan menikmati
kekhusukan bulan Ramadhan. ‘Kata’ terlalu liar untuk diatur. Setidaknya di
pemilu ini elit kita mengambil jalan terjal dengan lalu-lintas kata yang keruh
dan becek seperti, ‘akurapopo, aku ora iso opo-opo, presiden boneka, sinting,
rakyat bodoh, potong kemaluan, dan kata-kata liar lainnya’.
Filsuf
Jerman Johann Gottfried Herder melihat kata-kata bermula sebagai imitasi dari
teriakan hewan-hewan liar atau burung. Ahli sejarah linguis Max Muller (1861)
menerbitkan daftar spekulatif teori tentang asal muasal kata/bahasa. Seperti
teori bow-bow meniru suara hewan, pooh-pooh akibat interjeksi emosional,
ding-dong akibat getaran resonansi alami, yo-he-ho kata yang muncul dari
kegiatan kerjasama, dan ta-ta yaitu kata yang muncul secara manual. Dari
beberapa teori yang diungkapkan Muller kata yo-he-ho yang paling menarik,
‘yo-he-ho’ ibarat perpaduan sehingga memunculkan tatanan bahasa yang indah. Hal
ini bisa kita dapati pada perpaduan bunyi benda-benda alam atau dalam
masyarakat primitive isyarat untuk bergotong royong. Dalam wajah modernis
berkembang ke dalam alunan alat musik. Dalam mitologi, ditemukan bahwa kata
diajarkan Tuhan kepada Adam. “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama benda
seluruhnya kemudian mengemukakannya kepada mara malaikat” (Al-baqoroh: 31). Kemudian
Adam mengejawantahkan sendiri sampai kepada keturunannya yang memproduksi kata
begitu banyak.
Kata dalam Kota
Di
dalam ‘kota’ terjadi produksi kata yang masif. Komunitas urban membuat produksi
kata semakin bergairah. ‘Kota’ terlalu serius merudapaksa kata menjadi jajanan
bak angkringan dipinggir jalan, sedangkan desa terlelap nyaris tanpa diksi. Di
Pemilu 2014 ini kota bertaburan kata, semua orang berebut berkata, televisi,
radio, facebook, twitter, penyair dan yang tidak mungkin ketinggalan bahkan
terdepan adalah politisi yang memproduksi kata mencemari ‘kesolehan sastra’.
Emha Ainun Najib (baca : Cak Nun) mengungkapkan dengan puisi atas fenomena
pemilu. Para politisi menabur kata dalam baliho-baliho di ujung jalan. Cak Nun
bersyair; aku melihat wajahmu/menghiasi kota-kota dan desa-desa/terpampang
sangat besar/Diratusan titik di
jalan-jalan besar/maupun di pelosok-pelosok/engkau meminta agar aku
mencontrengmu/dan aku siap untuk itu, aku siap mencontrengmu/tapi siapakah
engkau ini? Kita belum berkenalan/
Hanya
sedikit kata yang mampu memberi kewarasan kota saat musim-musim kampanye. Dan
sastra memberi ruang tersendiri dalam antithesis produksi kata para politisi.
Polusi kata dalam kota adalah sampah yang berceceran dan hanya penyair yang
selalu membenahi dalam sepi. Bahkan kota banyak para ulama, cendekiawan,
intelektual menaburkan kecerdasannya untuk melegitimasi sarunya ‘kata’ musim
kampanye. Ditengah berdesaknya ‘politik
kata’, para penyair berjasa dalam memberi kesadaran dengan kata sebagai bentuk
alat perlawanan. Pertarungan kata menjadi media sendiri bagi para politisi dan
penyair. Di satu sisi politisi dengan kata memberi harapan, impian dan masa
depan yang gilang-gemilang. Di sisi yang lain penyair dengan kata memberi
kesadaran, realitas dan bertahan dengan kenyataan. Sebagaimana WS Rendra
berucap; Allah! Betapa Indahnya sepiring nasi panas/semangkuk sup dan segelas
kopi hitam/.
Kuasa Sastra
Ironinya
tidak banyak rakyat kita yang mengobati diri dengan bertradisi sastra. Selalu
saja mereka menjadi korban 5 tahunan, alat kesadaran tersebut bahkan semakin
hilang saat mimbar-mimbar keagamaan di kotori oleh munculnya politisi. Di
masjid, pesantren bahkan lembaga pendidikan para politisi berhasil menyelonong
memenangkan pertarungan kata. Dalam sejarah Islam masyarakat memberi tempat
tersendiri kepada para penyair. Dengan itu pertarungan kata menjadi titik
kesadaran bagi masyarakat Mekkah saat Islam hadir. Tidak tanggung-tanggung para
penyair mengagumi bahasa Al-quran yang mengandung sastra luar biasa. Kota
Mekkah sebagai kota penyair meninggalkan jejak-jejak kewarasan bagi umat Islam
dan peradaban manusia.
Sejarah
juga mencatat negara-negara yang menghargai sastra juga menjadi bangsa
pemenang. Jerman contohnya setiap tahun 95.000 buku di cetak per tahun,
terdapat sekitar 300 teater tetap, 130 orkes professional antara Flensburg di
utara dan Garmich di selatan, 630 museum seni rupa, 350 judul surat kabar.
Mungkin juga tidak banyak yang tahu seorang sastrawan yang menemani perjuangan
Nelson Mandela memperjuangkan hak asasi manusia melalui jalur politik African
National Congress (ANC) yaitu Nadine Gordimer. Seorang Nelson Mandela
membutuhkan narasi sastra Nadine dalam upaya memberi legitimasi perjuangan
dengan syair-syair yang menggugah. Dia Menulis cerpen, novel dan esai. Berbagai
penghargaan dunia dia raih dalam kerja besarnya memperjuangkan keadilan bagi
rakyat Afrika Selatan dan dunia. Nadine mengatakan tugas seorang penulis adalah
menyuarakan pembelaan terhadap mereka yang tertindas di bagian dunia manapun.
Kita
juga mengenang Pramoedya Ananta Toer yang tergabung dalam Lekra (lembaga
kebudayaan rakyat), teriakan yang kita ingat dari Pram adalah “sastra untuk
rakyat”. Sastrawan besar abad ini yang tidak diakui di Indonesia tapi di puja
oleh berbagai negara di dunia. Sebagai seorang penulis Pram mendukung ide-ide
politik Soekarno dan menempatkan sastra sebagai kerja-kerja ‘kata’ yang
membangun optimisme revolusi. Dengan ‘kata’ ide-ide Tan Malaka menggerakkan
semangat pemuda tahun 1925. Tercatat kualitas kata para pendiri bangsa ini
memiliki kemampuan sastra yang tinggi. Dengan ‘kata’ Soekarno membangun
imajinasi yang hampir mustahil saat itu. M. Hatta dan M Natsir pun tak mau kalah dengan rajin menuliskan pengetahuannya
di surat kabar. Hadji Agus Salim, Sutan Sjahrir, DN Aidit, Sunjoto, Hamka,
Wahid Hasym mereka adalah orang-orang yang cerdas memainkan pena.
Ketika
‘kata’ mampu menggugah ‘kota’—tempat bergumulkan kekuasaan—menjadi tempat
beradab dan memberi tempat bagi kewarasan, di situlah kita semua mampu
membangun keadilan yang sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Kata, kota dan
kekuasaan adalah imajinasi panjang, pergumulan yang serius dan narasi yang
harus dimenangkan oleh rakyat seutuhnya. Jika sastra dipenuhi oleh emosional
kekuasaan elit, produksi kata bukan hanya mencemari kota, tapi dampaknya sampai
ke pelosok-pelosok desa. Sebagai penutup kita mengingat kembali apa yang
diucapkan Rendra dalam sajak orang orang miskin 1978. Orang-orang miskin di
jalan/yang tinggal di dalam selokan/yang kalah di dalam pergulatan/yang diledek
oleh impian/janganlah mereka ditinggalkan/!.
0 komentar