(Memperingati
100 tahun Muhammadiyah)
Oleh : DHARMA SETYAWAN
Majelis Pemberdayaan Masyarakat
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Metro
Peneliti “Ijtihad dan Tajdid Ekonomi Muhamamdiyah”
Pada tahun 1970-an dan 1980-an, organisasi-organisasi Islam
menyebar di seluruh Indonesia. Pada tahun 1980-an, organisasi Islam terbesar,
Muhammadiyah telah memiliki 6 juta anggota, mendirikan sebuah “Negara yang
berlandaskan agama di dalam Negara secular,” dan memberikan pelayanan-pelayanan
“seumur hidup” di seluruh negeri, mendirikan sekolah-sekolah, klinik-klinik,
rumah sakit, dan lembaga-lembaga (pendidikan) setingkat Universitas. (Samuel P.
Huntington : 1996 : 1985). Huntington begitu takjub terhadap Muhammadiyah sejak
70-an dirinya menuliskan cerita di atas di buku The Class of Civilizations and the remaking of world order. Buku
yang sangat profokatif membenturkan Islam dan Barat sebagai musuh abadi
perjuangan eksistensi peradaban. Huntington mengamati Gerakan Islam di dunia
begitu detail, dari Negara Islam satu dan Negara berpenduduk Islam lainnya.
Gerakan Pembaharuan Islam pun saat ini mulai menyadari sebuah kekuatan besar
dirinya yang menakutkan bagi peradaban
barat.
Muhammadiyah_nomics
adalah sebutan bagi peng-ejawantahan Muhammadiyah dalam pengembangan ekonomi
secara internal maupun eksternal. Berdiri sejak 18 November 1912, Muhammadiyah
sudah menapaki jalan panjang jauh sebelum Indonesia merdeka. Ahmad Dahlan
sendiri pernah menyatakan “Sebagian besar pemimpin belum pernah menaruh
perhatian pada kebaikan dan kesejahteraan manusia, akan tetapi baru
memperhatikan kaum dan golongannya sendiri bahkan badannya sendiri. Jika
badannya sudah memperoleh kesenangan mereka merasa berpahala dan seolah telah
sampai pada tujuan dan maksud. ( 1 Abad Muhammadiyah : 2010).
Ahmad Dahlan menjadi peletak dasar utama Muhammadiyah_nomisc di tubuh gerakan
ini. Sebagai seorang Khatib di masjid sultan, dirinya juga sebagai seorang
pedagang batik. Sebagaimana diceritakan dalam kisah-kisah lampau, Ahmad Dahlan
sering mengundang para sahabat dan pemuda untuk makan di rumahnya. Beberapa
kali perkumpulan itu hanya mengundang makan dan setelah itu pulang. Ahmad
Dahlan tidak ingin menampakkan dirinya dengan memberi tausiah keagamaan, namun
beberapa waktu pemuda-pemuda yang meminta adanya pengajian setelah acara mekan
selesai. Etika welas asih lebih terlihat dominan pada pribadi Ahmad Dahlan.
Orang-orang di sekitar juga menyadari bahwa sikap dermawan Ahmad Dahlan adalah
kenyataan yang tidak bisa dibantah walaupun dirinya keras terhadap perilaku bidah, tahayul dan curafat (TBC). Sikap dermawan itu seringkali tertupi dengan
tindakannya yang tegas merubah arah kiblat masjid Sultan di Yogyakarta, dan
menolak tradisi-tradisi yang berlawanan dengan postulat Islam. Namun Ahmad
Dahlan tidak fundamentalis terhadap
perbedaan.
Muhammadiyah-nomisc
juga menjadi pemacu kuat bagaimana organisasi ini dapat berkembang dengan
sangat cepat. Terutama di Sumatra di awali dengan Sumatra Barat menjadi basis
kuat kedua setelahYogyakarta hingga Muhammadiyah berdiri hingga ratusan cabang.
Dan juga pedagang-pedagang batik di Jawa, sebagai relasi Ahmad Dahlan berdagang
batik ikut andil pula mengembangkan Muhamamdiyah. Muhammadiyah_nomics tidak dipungkiri adalah kekuatan harta untuk
membangun ide-ide kepedulian terhadap kaum duafa. Tidak heran kemudian ada
istilah-istilah di Muhammadiyah yang mengidentikan karakter orang kecil yang
terbantu oleh sikap sosial Muhammadiyah. Pertama
wong cilik, istilah jawa ini
melekatkan sebuah komunitas orang kecil di Jawa yang ikut diurusi Muhammadiyah
dan generasi mereka sampai hari ini sudah banyak terangkat status sosialnya. Kedua Kaum duafa, Istilah yang lebih
Islami bagi penganut Islam keseluruhan baik di jawa atau di luar jawa dan
menjadi fokus nasional bagi Muhammadiyah untuk terus membantu. Ketiga Marhenisme Muhammadiyah (Marmud),
kelompok ini adalah bekas pengikut PKI yang kemudian menjadi basis khusus
Muhammadiyah dan terbantu dengan hadirnya kedermawanan Muhammadiyah di
lingkungan mereka. Dalam hal politik kaum Marhen ini juga lekat dengan
ideologisasi Bung Karno. Karena Bung Karno juga tercatat sebagai anggota
Muhammadiyah.
Deliar Noer juga mencatat dalam beberapa tempat kehadiran
pedagang-pedagang Minangkabau yang merupakan hasil dari gerakan pembaharuan di
Minangkabau sendiri, merupakan bantuan yang sangat berharga bagi Muhammadiyah.
Seperti Nurul Islam di Pekalongan yang didirikan oleh para pedagang diubah
menjadi sebuah cabang Muhammadiyah. Daerah Surabaya seorang pedagang bernama
Pakih Hasjim dikenal sebagai ulama pedagang dan berasal dari Minangkabau
menjadi tokoh awal berdirinya Muhammadiyah. Ulama Muhammadiyah setempat juga
ikut terlibat yaitu Kiayi Haji Mas Mansur yang kelak menjadi ketua umum
organisasi Muhammadiyah pasca Kiayi Ahmad Dahlan (Deliar Noer, 1980).
Jadi persenyawaan Muhammadiyah dan ekonomi diistilahkan Muhamamdiyah-nomics. Sebuah gambaran
kerja 100 tahun Muhammadiyah berkiprah mengangkat derajat kesejahteraan umat
Islam di Indonesia yang telah lama menderita parah akibat kekejaman kolonialisme dan feodalisme. Islam Muhamamdiyah perlahan namun pasti membuktikan
diri menjadi kaum menengah ke atas sesuai dengan karakter berfikir Islam
modernisme yang terus meningkat atas usaha pendidikan yang terus di gerakkan.
Istilah Ahmad Dahlan “dadio guru lan
murid” (jadilah guru dan murid) adalah konsep saling menimba ilmu kepada
siapa saja.
Setelah berjalan 1 Abad kini Muhammadiyah talah memiliki
amal usaha Muhammadiyah (AUM) yang sangat signifikan jumlah dan nilainya.
Menurut data AUM, organisasi ini memiliki amal usaha diantaranya ;TK/TPQ 4.623,
Sekolah Dasar (SD)/MI 2.604, Sekolah Menengah Pertama (SMP)/MTs 1.772, Sekolah
Menengah Atas (SMA)/SMK/MA 1.143, Pondok Pesantren 67, Jumlah total Perguruan
tinggi Muhammadiyah 172, Rumah Sakit, Rumah Bersalin, BKIA, BP, dan lainnya
457, Panti Asuhan, Santunan, Asuhan Keluarga, 318, Panti jompo 54, Rehabilitasi
Cacat 82, Sekolah Luar Biasa (SLB) 71, Masjid 6.118, Musholla 5.080, Tanah
20.945.504 M². (sumber : www.muhammadiyah.or.id)
0 komentar