Oleh : Dharma
Setyawan
Humas Himpunan
Mahasiswa Pascasarjana
Universitas
Gadjah Mada
Modernisme telah lama
bermetafor menjadi Post-modernisme. Kebencian pihak modern terhadap partikular
dan kelokalan kini ditentang habis oleh Post-modernisme. Sebagai bagian dari
pembaharuan isme-modern tidak ada unsur untuk menolak keseluruhan. Namun
Post-modernisme adalah sebuah cara perlawanan yang dilakukan atas semua doktrin
Rene Descartes selama ini. Corgito Ergo Sum (aku berfikir maka aku
ada) adalah kredo yang selama ini selalu memuja bentuk rasional paling klimaks.
Dengan budaya kemampuan akal manusia adalah puncak dari modernism faktanya
tidak membuat kehidupan lebih baik. Manusia sebagai makhluk sosial telah
menolak gejala-gejala kesalahan modernism selama ini.
Gagalnya
Modernisme
Pada bentuk marginalnya
modernism angkuh mendikte kehidupan manusia sehingga meninggalkan budayanya
yang heterogen. Modernisme telah gagal
dan telah putus asa untuk membuat kebahagiaan di atas tekologi dan rasional
manusia kontemporer. Modernisme menafikan peran budaya, partikular, kelokalan,
kearifan, primordial budaya dan lain sebagainya. Moderinsme tidak mampu membuat
semangat kehidupan manusia seluruhnya menjadi universal. Fakta yang terjadi
bahwa perilaku sosial manusia tidak akan mampu digantikan oleh teknologi
secanggih apapun. Manusia hidup ditakdirkan untuk menjadi penolong satu sama
lain. Kehidupan kosmopolitan, perilaku urban yang apatis semakin menyiksa
kehidupan manusia. Keluarga menjadi hancur, hubungan kemanusiaan semakin amoral
dan nir sosial.
Para pemeluk modernisme
telah mencoba hidup bersenyawa dengan teknologi. Manusia modern mencoba untuk
menyelesaikan persoalan dengan kecanggihan teknologi. Mereka mencoba hidup
dengan kacanggihan laptop, handphone, alat transportasi individu dan mungkin
hidup pada satu ruangan. Namun yang terjadi bahwa kecanggihan teknologi membuat
manusia semakin kesepian, laptop tidak mampu menjawab perasaan manusia yang
tentu berbeda, kendaraan canggih yang individualis membuat macet jalanan karena
satu sama lain saling berlomba pada euforia
kendaraan canggih. Dampak lingkungan dari perilaku modernism juga tidak
bertanggungjawab. Kehidupan modernism membuat bumi menjadi gersang, kerusakan
alam akibat eksploitasi tambang dan air tanah menjadi bukti korban keserakahan.
Manusia adalah makhluk
sosial ini tidak dapat dibantah oleh teori apapun. Sifat kekurangan manusia
merupakan takdir Tuhan yang dimaksudkan untuk saling membantu dan saling
melengkapi. Kehidupan manusia yang dimulai dari bilik keluarga adalah kehidupan
manusia yang sangat didambakan. Kemanapun manusia pergi menjelajah bumi
keluarga adalah tempat kembali yang paling indah. Kerinduan seorang anak kepada
orang tua tidak dapat digantikan dengan sambungan telepon atau video internet.
Kerinduan mereka harus dipertemukan dengan sentuhan fisik, bertatap muka dan
bercanda tawa. Maka pantas modernisme dituduh membuat hubungan keluarga menjadi hancur.
Maka lahirlah
postmodernisme yang menghargai perbedaan, menghargai kembali local wisdom,
mengangkat kembali warisan budaya setiap ragam kehidupan. Postmodernisme lahir
pasca gagalnya paham modernism menjanjikan kebahagiaan. Dalam tulisan “Etos Postmodern”
Stanley J. Grenz menyatakan bahwa Postmoderisme menunjuk kepada suasana
intelektual dan sederetan wujud kebudayaan yang meragukan ide-ide,
prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh modernisme. Postmodernitas
menunjuk kepada era yang sedang muncul, era dimana kita hidup, zaman di mana
postmodernisme mencetak masyarakat kita. Postmodernitas adalah era di mana
ide-ide, sikap-sikap, dan nilai-nilai postmodern bertahta - ketika
postmodernisme membentuk kebudayaan. Inilah era masyarakat postmodern.
Salah satu pemikir
postmodernisme, Charles Jencks, menegaskan bahwa lahirnya konsep postmodernisme
adalah dari tulisan seorang Spanyol Frederico de Onis. Dalam tulisannya "Antologia de la poesia espanola e
hispanoamericana" (1934), de Onis memperkenalkan istilah tersebut
untuk menggambarkan reaksi dalam lingkup modernisme. Yang lebih sering dianggap
sebagai pencetus istilah tersebut adalah Arnold Toynbee, dengan bukunya yang
terkenal berjudul "Study of History". Toynbee yakin benar bahwa
sebuah era sejarah baru telah dimulai, meskipun ia sendiri berubah pikirannya
mengenai awal munculnya, entah pada saat Perang Dunia I berlangsung atau
semenjak tahun 1870-an. Menurut analisa Toynbee, era postmodern ditandai dengan
berakhirnya dominasi Barat dan semakin merosotnya individualisme, kapitalisme,
dan Kekristenan. Ia mengatakan bahwa transisi ini terjadi ketika peradaban
Barat bergeser ke arah irasionalitas dan relativisme. Ketika hal ini terjadi,
kekuasaan berpindah dari kebudayaan Barat ke kebudayaan non- Barat dan
muncullah kebudayaan dunia pluralis yang baru. (Stanley J. Grenz)
Kebudayaan
Post-Modernisme
Sangat menarik
mengamati Jogja Hip Hop Foundation sebuah grup music Hip Hop yang memunculkan
budaya dalam musik. Di tengah gempuran musik beraliran impor negeri ini, grup
ini mencoba berelaborasi dengan kearifan local. Jogja Hip Hop Foundation
berusaha melawan dengan cara halus tetapi tanpa mencaci kondisi yang terjadi.
Sebagaimana ide Postmodernisme, grup ini menghargai perbedaan dan memberikan
daya tarik musik pada kualitas isi musik. Musik hip hop berkomparasi dengan
etnis musik jawa yang tergolong lokal. Hal ini juga menjadi satu marketing
cerdas untuk mengangkat budaya lokal agar terlihat di tingkat internasional.
Mengangkat lokal pada wilayah universal memang tidak gampang namun ini adalah
wujud konsistensi untuk melestarikan budaya lokal dan membangun nilai-nilai
kehidupan.
Kebudayaan Jogja,
bahasa jawa, batik, Jola Joli (Pantun Jawa) menjadi suguhan menarik musik Jogja
Hip Hop Foundation yang mengangkat kembali bagian local wisdom di Nusantara
ini. Kritik terhadap kondisi politik, sosial dan kehidupan modernism muncul
dalam bait syair-syair Jogja Hip Hop Foundation. Bahkan grup hip hop ini telah
go internasional di Amerika menyuguhkan lantunan kebudayaan musik berkomparasi
dengan ke-jawaan. Postmodernisme bukanlah isme yang final menjawan kehidupam
manusia yang selalu berubah. Atas dasar sikap sosial kemanusiaan menyeragamkan
manusia dalam nalar fikir yang terus berkembang adalah bentuk penjajahan fisik
dan jiwa manusia itu sendiri. Yang berhak menyeragamkan sisi kehidupan manusia
adalah Tuhan dengan ajarannya yang memaksa manusia untuk berakhlak baik dan
memberi tauladan terhadap sesama.
0 komentar