Oleh: Dharma Setyawan
Agama-agama
saat ini bukan lagi menjadi pembebas bagi para kaum tertindas. Sejarah agama
sebagai kesadaran ber-Tuhan dan alat perlawanan menjadi kabur dan tak punya
nyali menghadapi persekongkolan para thogut kekuasaan. Kondisi agama hari
ini seolah membenarkan tuduhan sebagai candu, terpenjara ritualisme, dan semakin
tak ber-api untuk menyembuhkan luka kaum musta’afin yang dihantam kapitalisme
dan kroni-kroninya.
Bagaimana
jika kapitalisme bersemayam di tubuh agama? Kapitalisme agama adalah
pengkhianatan nilai-nilai profetik. Onggokan kaum agamawan yang diam di tengah
penindasan dan meminggirkan hak mustad’afin adalah kebiadaban. Mereka-mereka
yang menjual agama dengan harga murah, meneguk popularitas dan meninggalkan
ummatnya dalam penindasan, sama halnya meninggalkan mereka dalam kesesatan.
Kapitalisme
agama adalah a-moral para ulama yang tidak berjamaah secara sosial. Mereka
tidak membangun zakat empati untuk bersatu dan melawan. Syahadat mereka tidak
untuk menunjukkan jati diri para calon-calon syuhada. Syahadat mereka adalah
gincu dunia yang semakin membuat merah darah ‘luka perih’ para mustad’afin.
Puasa mereka adalah tameng kerakusan dunia. Sejatinya mereka—para kaum
kapitalisme agama—selalu berbuka dengan upeti para kapitalisme-kapitalisme yang
bersemayam di perusahaan jahat dan birokrat yang tuli.
Film
‘Rayuan Pulau Palsu’ menggambarkan sangat jelas bahwa kapitalisme agama ini ada
dan menyakiti rakyat kecil. Mereka-mereka pengurus masjid disuap oleh
perusahaan reklamasi, dikondisikan untuk diberi uang ada yang di-umroh-kan agar
para pemuka agama tidak ikut memprotes.
Narasi
pembebasan agama untuk memperjuangkan hak kemerdekaan ummat semakin langka
ditemukan. Dulu ‘agama' menjadi oase di tengah keringnya kepedulian
kemanusiaan. Agama dianut dan dipercayai bukan hanya sebagai sandaran teologi
tapi juga sarana perlawanan menyatukan orang-orang tertindas.
Nabi
Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa sampai Kanjeng Rosul Muhammad Saw, mereka adalah
segelintir manusia yang terus melakukan perlawanan atas penindasan-penindasan
dengan kesabaran dan kesetiaan. Bahwa agama yang mereka bawa kemudian dianggap
heterogen mungkin itu akibat penginstitusian agama—padahal sejatinya ajaran mereka
menemukan narasi ‘berserah diri' yang sama—tapi yang paling penting apa yang
mereka bawa adalah kesamaan pembebasan terhadap kaum-kaum yang tertindas.
Para
pembebas ini tidak sibuk dengan agenda kepentingannya sendiri. Bahwa mereka
hidup layaknya manusia biasa itu bisa dipastikan benar. Namun apakah mereka ini
orang yang asyik dengan kepentingannya sendiri? hal tersebut bisa dijawab dengan teks-teks
sejarah.
Apakah
nabi adalah orang yang sudah selesai dengan kebutuhannya atau sosok yang sudah
selesai dengan urusan hidupnya? Jawabannya, Nabi adalah manusia biasa, Nabi
juga punya kekurangan, merasakan lapar, merasakan sedih, merasakan kesempitan.
Namun para nabi adalah orang yang setia dengan garis perjuangan bahkan rela
hidup di tengah-tengah ummat yang miskin.
Nabi
bukan orang yang mengambil keuntungan dalam setiap perjuangannya. Nabi adalah
orang yang hidup setia mendampingi mereka-mereka yang tertindas dan siap hidup
susah melebihi dari susahnya mereka-mereka yang sedang diperjuangkan. Masih
ingatkah kisah Nabi Muhammad mengikat perutnya dengan batu kerikil untuk
mengganjal rasa lapar? Masih ingatkah kita bahwa beliau meninggal dalam keadaan
masih meng-gadai-kan baju besinya kepada seorang Yahudi?
Kekerasan
struktural khususnya di Indonesia akhir-akhir ini perlu menjadi refleksi para
kaum agama—terutama ormas besar Muhammadiyah dan NU—yang belum menyatakan
keberpihakan secara konkrit. Dua ormas besar ini belum punya pernyataan sikap nasional
membela para kaum yang tertindas seperti korban reklamasi pantai di Jakarta, Kala
Benoa Bali, korban keserakahan perusahaan semen di Pati gunung Kendeng Jawa
tengah, para korban konflik tanah di Urut Sewu Kebumen, konflik tanah register
di Lampung dan konfik lainnya. Agama melarang kita membiarkan kaum papa berjalan
sendiri tanpa dukungan moral dan material. Maka para kaum agama selayaknya
turun membangun aliansi substantif berada digaris depan melawan kekerasan
struktural tersebut.
Para
aparatus negara ini akan berhadapan dengan para kaum agama yang selama ini
mereka mintai restu di tiap perhelatan pemilu. Dengan hadirnya para kaum agama
ini, nilai-nilai profetik akan kembali ke tempat asalnya yaitu membebaskan
mereka atas penindasan-penindasan
kekuasaan yang zhalim.
Firaun
Reklamasi, Abu Jahal Semen, Thogut Tanah, dan lainnya harus dilawan dengan perlawanan
kolektif kaum agama. Kita tidak hanya menghadapi musuh agama tapi kita sedang memperjuangan
kaum mustadafin ini meraih masa depan hidupnya dan untuk mendapatkan kesejahteraan
bersama.
Kita
kaum beragama harus melakukan upaya kolektif membela mereka yang butuh bantuan.
Kasus kejahatan seksual di tengah krisis kepemimpinan, tulinya para aparat
hukum, dan diamnya para kaum terdidik semakin melengkapi penderitaan mereka dan
semakin mendorong frustasi sosial. Saya menutup tulisan ini dengan ucapan Dalai
Lama,”adalah perlu untuk saling membantu sesama, tak hanya dalam doa kita,
tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.Jika kita sadar tak bisa membantu orang
lain. Yang paling bisa kita lakukan adalah berhenti merugikan mereka.”
0 komentar