Dharma Setyawan |
Oleh : DHARMA SETYAWAN
Direktur Eksekutif Adzkiya Centre
“Apakah
Kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai
bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu
sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong” (Pidato HUT
Proklamasi, 1966 Bung Karno)
Koperasi adalah global
wisdom (kearifan global) yang paling setia menemani rakyat. Bagai rumput
ilalang, koperasi selalu mendapat perlakuan yang tidak adil oleh kekuasaan.
Dengan semangat gotong royong koperasi mempermudah jalannya roda ekonomi bagi para
proletar, murbaisme, atau wong cilek yang ingin melakukan produksi ataupun
konsumsi. Karena koperasi memberi jaminan dengan kebersamaan atas beban berat
menjadi lebih ringan. Sejak era Yunani landasan Plato tentang “common”
(kebersamaan) masih dipercaya. Sedangkan muridnya Aristoteles menjadi berlawanan
dengan mengajukan pemikiran “individual” adalah kunci tumbuh kehidupan ekonomi
karena adanya kompetisi. Pemikiran keduanya kemudian berkembang menjadi
sosialisme dan kapitalisme.
Koperasi yang dulu
masih ejaan lama tertulis “kooperasi’ adalah ideologi perlawanan dalam bidang
ekonomi melawan kolonial Belanda. Berasal dari kata “cooperation’ memiliki arti
kerjasama. Lebih jauh kata ini mengandung semangat kebersamaan untuk melawan
kapitalisme global yang saat itu menjajah negeri-negeri dunia ketiga. Sekilas
sejarah koperasi lahir di Rochdale, Inggris pada 21 Desember 1884. Di Nusantara
koperasi pertama diperkenalkan oleh R. Aria Wiriaatmadja di Purwokerto, Jawa
Tengah dengan mendirikan Hulp en Spaarbank (16 desember 1895) yang
didukung oleh birokrat kolonial Belanda E.Sieburg (Asisten Residen di
Purwokerto). Selanjutnya gerakan kebangsaan Budi Utomo (1908) dan Sarekat
Dagang Islam (SDI) melanjutkan pendirian koperasi sebagai basis ekonomi
masyarakat tingkat grass root (akar rumput).
Namun perjalanan
Koperasi saat pemerintahan Hindia Belanda tidak mudah, Belanda mengeluarkan
aturan UU No 431 untuk memperumit rakyat mendirikan koperasi. Protes dilakukan
beberapa gerakan hingga akhirnya pemerintah Hindia Belanda menerbitkan UU No 91
Tahun 1927 yang mempermudah berdirinya Koperasi dengan membayar tiga gulden
untuk materasi, boleh menggunakan bahasa lokal, hukum perdagangan disesuaikan
dengan kondisi per daerah dan perizinan boleh di tempat. Koperasi tumbuh
kembali, sampai saat Jepang hadir menduduki Indonesia dan mendirikan Koperasi
Kumiyai yang menyelewengkan tujuan dengan mengeruk keuntungan dari koperasi
yang sebelumnya dibangun rakyat. Sampai kemudian Bung Hatta dan kawan-kawan
seperti Niti Sumantri, Kastura, Much. Muchtar, dan Kyai Lukman Hakim, R.S.
Soeria Atmaja (Kepala Jawatan Koperasi Pusat), dan R.M. Margono Djojohadikosumo
(Presiden Direktur BNI 1946) mencetuskan kongres koperasi pertama di
Tasikmalaya tanggal 12 Juli 1947 dan ditetapkan sebagai Hari Koperasi
Indonesia.
Peserta hadir
sekitar 500 utusan gerakan koperasi dari Jawa, Madura, Kalimantan, Sumatra, dan
Sulawesi. Kongres pertama itu menghasilkan kesepakatan dan dibentuknya Sentra
Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) yang pada perkembangannya menjadi
Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin). Dalam kurun waktu 10 tahun (1950-1960),
koperasi mengalami perkembangan cukup pesat. Bukan hanya jumlahnya melesat dari
1.155 menjadi 16. 601 unit, tetapi keputusan Kongres Koperasi I yang strategis pun
terwujud, yaitu berdirinya 8 bank koperasi di 8 provinsi, antara lain Bank
Koperasi Priangan di Jawa Barat, Bank Koperasi Majapahit di Jawa Timur, serta
Bank Koperasi Indonesia di Jakarta. Namun kemudian koperasi mengalami
pembabatan bak ilalang, dimasa orde baru Koperasi di hegemoni oleh kekuasaan
sehingga seperti tanaman bonsai boleh tumbuh tapi tidak boleh besar.
Peran Partai
Politik
Pada era sebelum
kemerdekaan, peran partai politik begitu berjasa dalam memperluas semangat
koperasi. Koperasi yang bertujuan mensejahterakan anggotanya memiliki semangat
dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota. Para founding father menyadari
hanya koperasi yang mampu menyelamatkan ekonomi rakyat dari serangan
kapitalisme yang membabi buta. Sebelum kemerdekaan, Sarekat Dagang Islam (SDI)
yang kelak menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) adalah kumpulan para
pedagang-pedagang muslim yang bersatu menyelamatkan ekonomi rakyat dalam
perdagangan. Pada tahun 1927 dibentuk Serikat Dagang Islam, yang bertujuan
untuk memperjuangkan kedudukan ekonomi pengusah-pengusaha pribumi. Kemudian
pada tahun 1929, berdiri Partai Nasional Indonesia yang memperjuangkan penyebarluasan
semangat koperasi.
Hampir semua
founding father saat itu menyepakati koperasi sebagai soko guru perekonomian
nasional. Mulai dari Hos Cokroaminoto, Agus Salim, Soekarno, M. Hatta, Syahrir,
bahkan pemimpin Partai Komunis Indonesia mengamini koperasi tumbuh dengan
semangat gotong royong. Semangat itu dipertegas dengan ditetapkan Pasal 33 ayat
1 UUD 1945 yang menyebutkan, ”perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas
asas kekeluargaan.
Koperasi Dan
Kemandirian Partai Politik
Partai politik di
masa reformasi ini semakin kehilangan arah. Kemandirian partai politik sangat
nihil mengajari rakyat tentang kehebatan koperasi di awal kemerdekaan. Partai
politik seperti parasit di tubuh rakyat dan hidup mengambil hak rakyat.
Keuangan partai politik dicurigai adalah hasil dari APBN yang dimanupalasi dari
proyek-proyek pembangunan. Tidak hanya itu, publik kini mulai mengerti bahwa
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah sapi perah partai politik. Sudah
seharusnya kita mulai sadar pentingnya reformasi keuangan partai politik dengan
membangun koperasi yang didirikan oleh para anggota dan simpatisan partai
politik itu sendiri. Kita tidak mungkin lagi menutupi kebusukan system
pendanaan partai politik yang jelas-jelas mengambil hak rakyat lewat proyek
APBD dan APBN.
Dengan koperasi
Partai Politik, rakyat pendukung partai politik yang harus berkorban untuk
mencari pemimpin-pemimpin terbaik yang mewakili mereka di parlemen. Dengan
demikian ongkos politik menjadi lebih murah. Koperasi partai politik juga dapat
dikembangkan dalam bentuk pertanian, perkebunan yang selama ini dibiarkan
terbuka lebar untuk pihak asing. Selain itu koperasi partai politik harus
melawan kapitalisasi aset oleh segelintir orang sehingga menghindari status
quo kepemimpinan. Anggota partai politik juga dapat merasakan kesejahteraan
koperasi Partai Politik. Sehingga mereka tidak dibodohi sampai level tingkat
bawah dalam ritual 5 tahun pemilu. Koperasi Partai Politik seharusnya berdiri
di tiap level Dewan Pimpinan Daerah (DPD), Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan
Dewan Pimpinan Ranting (DPRa).
Politik yang cerdas
bukanlah politik ritualisme yang mengorbankan rakyat pada kondisi sengsara. Politik cerdas adalah politik yang
mampu mengangkat harkat martabat kesejahteraan para simpatisan politik. Dari
sini diharapkan rakyat tidak apatis terhadap pilihan politik karena koperasi
membawa semangat gotong royong dalam menyatukan ide-ide politik. Persatuan Bangsa-Bangsa
(PBB) menetapkan tahun 2012 sebagai Tahun Koperasi
Dunia ”International Year of Cooperatives” dan
Pemerintah Indonesia juga
mencanangkan sebagai tahun Revitalisasi Koperasi. Untuk itu Partai Politik ditantang untuk
mereformasi system keuangan organisasi menuju “Koperasi Partai Politik”. Sangat
mungkin koperasi Partai Politik ini yang disebut Bung Hatta sebagai bagian “Demokrasi
Ekonomi”.
0 komentar