Oleh
: DHARMA SETYAWAN
Mahasiswa Ekonomi Islam Sekolah Pascasarjana UGM
Maraknya wacana resufle para Menteri
kembali menjadi perbincangan hangat untuk kesekian kalinya. Walaupun bukan hal
yang pertama tapi isu resufle ini memang terkesan bola panas yang sewaktu-waktu
dapat bergulir dan membakar siapapun. Selain itu isu resufle juga menjadi titik
kebijakan baru yang di ambil oleh SBY menyangkut agregat kegagalan pemerintahan
kabinet jilid II. Pasca terendusnya beberapa kasus suap yang menyeret sejumlah
nama menteri, isu resufle terus bergulir tanpa ada kepastian yang jelas dari
kebijakan yang akan diambil SBY. Beberapa pengamat politik seperti Ray Rangkuti
(Direktur Eksekutif Lingkar Madani) memprediksi ini hanya peralihan isu yang
dulu juga pernah terjadi. Bisa jadi Isu resufle memang digulirkan untuk
mengalihkan isu besar yang belum tuntas sampai saat ini seperti Century Gate,
Gayus, Kriminalisasi KPK dan Antasari Azhar, Nazaruddin Gate dan lain-lain.
Menteri dan Kinerja Partai Politik
Koalisi yang dibangun pada kabinet
Jilid II adalah koalisi beberapa partai politik diantaranya Demokrat, Golkar,
PKS, PAN, PKB dan PPP. Sedangkan pada wilayah oposisi ada tiga partai politik
yaitu PDI P, Gerindra dan Hanura. Dalam perjalanan 2 tahun kabinet jilid II,
dari 34 Menteri yang mengisi jabatan kursi mereka berasal dari dua kalangan
yaitu kalangan profesioal dan kalangan partai politik. Fakta yang terjadi
menteri yang berasal dari kalangan partai politik banyak terindikasi menuai
kegagalan dalam menjalankan fungsinya. Hal ini bukan berarti kinerja menteri
dari kalangan profesioanal tidak ada kekurangan. Namun menteri dari kalangan
partai politik dalam perjalanannya telah banyak tersorot kinerja yang
buruk. Hal ini terbukti dengan banyaknya
menteri yang berasal dari partai politik terlibat kasus korupsi dan suap dalam
tender proyek di kementrian. Sebut saja beberapa menteri yang terkait kasus
korupsi atau suap yaitu Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Malarangeng dari
partai Demokrat terkait suap pembangunan wisma atlit di Palembang, Menteri
Tenagakerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar yang juga ketua Partai
Kebangkitan Bangsa terkait kasus suap 1,5 Miliar. Selain mentri di atas kinerja
buruk terjadi pada Menteri ESDM Darwin Zaherdi Saleh dari Demokrat terkait
dengan sering meledaknya tabung gas elpiji, Menteri Hukum dan HAM Patrialis
Akbar dari PAN yang sering melakukan remisi kepada paa koruptor.
Fakta di atas semakin menegaskan bahwa
citra dan kinerja buruk menteri lebih banyak berasal dari kalangan partai
politik. Pertanyaan yang muncul adalah dimanakah peran partai politik dalam
menjalankan fungsinya sebagai sumber ide dan platform gerakan? Semestinya
menteri-menteri yang berasal dari parpol adalah orang hasil kaderisasi terbaik
dan yang memiliki visi misi dan instrumen yang jelas menyangkut keahliannya
dalam menjalankan amanah yang diemban. Namun fakta menyatakan bahwa menteri
yang berasal dari partai politik memiliki kinerja lebih buruk dari menteri yang
berasal dari kalangan profesional. Kinerja menteri yang berasal dari partai
politik lebih banyak melayani pragmatisme para kadernya yang muncul di
birokrasi dan bermetamorfosa menjadi staff ahli di kementrian. Permainan tender
pada wilayah kementrian juga sangat rentan terjadi conflic of interest (konflik
kepentingan) sebagai akibat dari demokrasi yang dijalankan dengan biaya yang
sangat mahal. Maka kemenangan koalisi yang dibangun oleh beberapa partai
politik dibalas the rulling party kepada partai pendukung dengan kue-kue
proyek di kementrian. Hal ini telah menjadi rahasia umum bagai lingkaran setan
yang terus berputar mengelilingi orbit politik. Demokrasi juga disalahgunakan
menjadi jual beli kekuasaan sebagai upaya mempertahankan status quo yang
tersistematis.
Partai Politik Predator Anggaran
Partai politik pun kemudian
dipertanyakan fungsi keberadaannya, ditengah demokrasi yang semakin menimbulkan
ketidakpastian. Masyarakat kita pada akhirnya berada pada titik jenuh dengan
seluruh akrobat politik yang dilakukan oleh orang partai. Masyarakat juga tidak
bisa berharap banyak jika kasus korupsi, suap, dan konflik proyek merupakan
ritualisme para pejabat yang notabene berasal dari partai politik. Syatem multi
partai dan bebasnya money politik memaksa partai politik untuk bertarung bebas
sehingga menyebabkan partai politik menerabas konstitusi yang mereka buat di
DPR. Mereka yang mengerti hukum namun mereka sendiri yang banyak melakukan
pelanggaran hukum. Ideologi partai politik pun berangsur-angsur berubah dan
bergeser pada ideologi pragmatisme. Partai Politik semakin sulit dibedakan
platform gerakan bahkan pertai politik semakin miskin ide dalam menjalankan
fungsinya membangun negara. Kaderisasi partai politik juga terlihat semakin
mandul, pada tingkat pusat banyak anggota partai yang keluar dan membentuk
partai baru. Pada tingkat daerah para pemimpin partai politik dengan mudah
berpindah-pindah partai dengan menyamakan kondisi pada wilayah partai penguasa.
Hal ini disebabkan karena ideologi partai dan kaderisasi partai benar-benar
mandul, sehingga partai terisi oleh orang-orang pragmatis dan berorientasi pada
kekuasaan semata.
Pemimpin dari partai politik ini
muncul bersamaan dengan kuatnya modal yang mereka miliki untuk memenangkan
pertarungan demokrasi transaksional. Pada akhirnya APBN dan APBD yang
semestinya digunakan untuk kepentingan rakyat habis dihisap oleh para pejabat
untuk kepentingan partai politik. Ketidakjelasan visi dan misi parpol dalam
tataran prakteknya semakin memunculkan kelompok masyarakat yang apatis terhadap
fungsi dan peran partai politik yang sebenarnya. Terhisapnya anggaran APBN dan
APBD melalui transaksi proyek oleh orang partai politik menjadikan partai
politik bagai mesin uang yang terus bekerja dan maraup keuntungan. Pada
akhirnya partai politik tidak lebih hanya sebagai kelompok predator anggaran
pada wilayah negara. Selain itu permasalahan juga terjadi pada efisiensi APBN
kita yang 70 % telah habis untuk belanja pegawai negeri yang jumlahnya di
Indonesia hanya sekitar 5,1 juta jiwa. Artinya ada sekitar 225 juta jiwa
penduduk indonesia dari 230 juta penduduk yang hidup tanpa kepastian masa depan
dari peran negara kecuali bagi mereka yang masuk dan ikut menjadi predator
anggaran di partai politik.
Perlu ada pembenahan signifikan
terkait dengan fungsi partai politik baik pada skala nasioanal maupun skala
daerah. Pertama, bahwa kaderisasi partai politik harus dilakukan secara matang
sehingga jelas ideologi orang-orang yang berada di partai politik. Menteri yang
ditempatkan oleh partai politik juga harus teruji kualitasnya. Selain itu ritual
pindah partai atau membentuk partai baru adalah tindakan amoebaisasi
politik yang hanya akan membebani struktur APBN kita, karena partai politik di
subsidi dari APBN. Kedua, Pendanaan partai politik perlu mendapatkan pengawasan
ketat dan harus diatur oleh konstitusi yang mengikat. Sehingga diharapkan
anggaran partai politik bukanlah anggaran rakyat yang sudah di money loundry
lewat transaksi gelap di proyek-proyek APBN dan APBD. Partai politik semestinya
memiliki sumber pendanaan jelas selain dari iuran anggota juga perlu ada manajemen
usaha partai yang dapat menjamin kesejahteraan anggotanya sebelum
bermuluk-muluk akan mensejahterakan rakyat Indonesia. Ketiga, bahwa perlu ada
lembaga khusus mengaudit anggaran partai politik yang akan digunakan untuk
pemilu sehingga aturan tentang dilarangnya money politik, jual beli
suara dan lain-lain benar-benar dapat diantisipasi. Harapan besar partai
politik dimasa depan adalah partai politik yang baik yaitu baik secara fungsi
dan kinerja. Semoga!
0 komentar