Meskipun secara pribadi saya belum banyak kontribusi maksimal dalam pemberdayaan. Namun dari beberapa pengalaman selama ini saya ingin berbagi kepada pembaca bagaimana selama ini pemberdayaan cenderung jadi komoditas. Komoditas ini bisa dilihat dari cara kelompok aktifis atau institusi melihat pemberdayaan sebagai agenda mencari keuntungan sesaat.
Pertama, ini sering dilalukan oleh para aktifis. Dengan dalih pemberdayaan misalnya kemiskinan bisa menjadi jajanan proposal strategis. Mereka mencari dana dengan metodologi yang rumit, kemudian mengambil teori akademis lalu mengambil anggaran melalui proposal berujung proyek bukan project pemberdayaan. Saya kira hal ini sudah banyak dilakukan oleh aktifis yang selama ini berjarak dengan warga yang memang tidak dikenalnya.
Apakah hari ini masih banyak aktifis demikian. Saya melihat jumlahnya berlipat-lipat bahkan di fasilitasi negara. Mereka bergaji, lalu bak sinterklas yang menjadikan rakyat sebagai angka, data dan objek kemiskinan. Pertanyaannya, apakah mereka sudah memahami miskin selain dari kriteria angka, data dan lain-lain yang kelihatannya ilmiah itu?
Rakyat sejatinya tidak suka dianggap miskin. Meskipun mereka tidak punya, jauh sebelum orde reformasi misalnya. Orang jawa punya sikap tak mau berpangku tangan. Kerjo sak eko proyo, cukla-cukli bermono sandi dan lainnya. Orang Lampung punya piil pesenggiri, dimana dari 4 falsafah yang umum dipahami menggambarkan mereka mau bersatu, menjamu, rasa malu dan tentu ini menggambarkan adat dan etos kerja berkait kelindan.
Adat makin kabur, generasi makin lacur. Para aktifis yang melakukan pemberdayaan dengan teori-teori revolusioner ini mentah dilapangan. Tidak semua ini terjadi pada para aktifis, tapi jamak kita ketahui bahwa mereka yang gagal memahami dan mengimplementasikan pemberdayaan itu sendiri berakhir menjadi pengrajin proposal penjual kemiskinan.
Kedua, lembaga Non Profit yang faktanya selalu profit. Mereka bisa menjelma berbagai macam nama, keminggris, intelektuil tapi bergantung pada anggaran asing atau donor asing. Maka tak heran kemiskinan memang selalu menurun. Ya menurun ke anaknya, cucunya sampai cicit-cicitnya.
Selain ada system yang menindas, pemberdayaan yang dilakukan tidak membuat si miskin makin berpikir, tapi makin bergantung dengan program pemberdayaan. Padahal kita lihat mereka tokoh pemberdayaan tidak pernah lahir dari para aktifis itu sendiri. Mereka tokoh perubahan adalah orang yang mengenal medan, karakter masyarakat, setia di garis massa, dan konsisten terus melakukan hal yang kecil sampai menjadi besar. Biasanya mereka adalah orang-orang yang memang lahir dari wilayah tersebut.
Ketiga, Pemerintah. Untuk yang ketiga ini semua sudah tahu. Bahwa setiap tahun mereka punya anggaran, punya program, perencanaan secara matang tapi bisa kita lihat perubahan tidak terjadi secara signifikan. Tidak perlu analisis yang berkepanjangan, cukup kita semua tahu bahwa pemerintah memang bukan harapan akhir. Sejak adanya kata "pemerintah" kolektifitas warga selalu dipertaruhkan. Gotong royong menjadi barang absurd dan pemerintah datang seolah akan menyelesaikan segala persoalan. Kekeliruan ini ternyata bisa dipahami oleh mereka yang bukan lahir dari kampus-kampus. Tapi oleh masyarakat adat yang jauh dari cara berpikir akademis. Misal Boti yang menolak bantuan Pemerintah, Orang Baduy, Sunda Wiwitan, Orang Samin dan suku lokal lainnya.
Kita harus menyadari pemberdayaan harus dimulai dari, oleh dan untuk warga sendiri. Mereka-mereka, para pemuda daerah tempat pemberdayaan dilakukan harus memulai untuk melakukan pemberdayaan secara pelan namun terarah. Pemberdayaan tidak membutuhkan bantuan besar, dana besar. Pemberdayaan adalah menumbuhkan kesadaran untuk bangkit melalui kolektifitas atau gotong-royong bersama untuk mulai berubah dan berdaya secara mandiri.
Dharma Setyawan
Dharma Setyawan |
Pertama, ini sering dilalukan oleh para aktifis. Dengan dalih pemberdayaan misalnya kemiskinan bisa menjadi jajanan proposal strategis. Mereka mencari dana dengan metodologi yang rumit, kemudian mengambil teori akademis lalu mengambil anggaran melalui proposal berujung proyek bukan project pemberdayaan. Saya kira hal ini sudah banyak dilakukan oleh aktifis yang selama ini berjarak dengan warga yang memang tidak dikenalnya.
Apakah hari ini masih banyak aktifis demikian. Saya melihat jumlahnya berlipat-lipat bahkan di fasilitasi negara. Mereka bergaji, lalu bak sinterklas yang menjadikan rakyat sebagai angka, data dan objek kemiskinan. Pertanyaannya, apakah mereka sudah memahami miskin selain dari kriteria angka, data dan lain-lain yang kelihatannya ilmiah itu?
Rakyat sejatinya tidak suka dianggap miskin. Meskipun mereka tidak punya, jauh sebelum orde reformasi misalnya. Orang jawa punya sikap tak mau berpangku tangan. Kerjo sak eko proyo, cukla-cukli bermono sandi dan lainnya. Orang Lampung punya piil pesenggiri, dimana dari 4 falsafah yang umum dipahami menggambarkan mereka mau bersatu, menjamu, rasa malu dan tentu ini menggambarkan adat dan etos kerja berkait kelindan.
Adat makin kabur, generasi makin lacur. Para aktifis yang melakukan pemberdayaan dengan teori-teori revolusioner ini mentah dilapangan. Tidak semua ini terjadi pada para aktifis, tapi jamak kita ketahui bahwa mereka yang gagal memahami dan mengimplementasikan pemberdayaan itu sendiri berakhir menjadi pengrajin proposal penjual kemiskinan.
Kedua, lembaga Non Profit yang faktanya selalu profit. Mereka bisa menjelma berbagai macam nama, keminggris, intelektuil tapi bergantung pada anggaran asing atau donor asing. Maka tak heran kemiskinan memang selalu menurun. Ya menurun ke anaknya, cucunya sampai cicit-cicitnya.
Selain ada system yang menindas, pemberdayaan yang dilakukan tidak membuat si miskin makin berpikir, tapi makin bergantung dengan program pemberdayaan. Padahal kita lihat mereka tokoh pemberdayaan tidak pernah lahir dari para aktifis itu sendiri. Mereka tokoh perubahan adalah orang yang mengenal medan, karakter masyarakat, setia di garis massa, dan konsisten terus melakukan hal yang kecil sampai menjadi besar. Biasanya mereka adalah orang-orang yang memang lahir dari wilayah tersebut.
Ketiga, Pemerintah. Untuk yang ketiga ini semua sudah tahu. Bahwa setiap tahun mereka punya anggaran, punya program, perencanaan secara matang tapi bisa kita lihat perubahan tidak terjadi secara signifikan. Tidak perlu analisis yang berkepanjangan, cukup kita semua tahu bahwa pemerintah memang bukan harapan akhir. Sejak adanya kata "pemerintah" kolektifitas warga selalu dipertaruhkan. Gotong royong menjadi barang absurd dan pemerintah datang seolah akan menyelesaikan segala persoalan. Kekeliruan ini ternyata bisa dipahami oleh mereka yang bukan lahir dari kampus-kampus. Tapi oleh masyarakat adat yang jauh dari cara berpikir akademis. Misal Boti yang menolak bantuan Pemerintah, Orang Baduy, Sunda Wiwitan, Orang Samin dan suku lokal lainnya.
Kita harus menyadari pemberdayaan harus dimulai dari, oleh dan untuk warga sendiri. Mereka-mereka, para pemuda daerah tempat pemberdayaan dilakukan harus memulai untuk melakukan pemberdayaan secara pelan namun terarah. Pemberdayaan tidak membutuhkan bantuan besar, dana besar. Pemberdayaan adalah menumbuhkan kesadaran untuk bangkit melalui kolektifitas atau gotong-royong bersama untuk mulai berubah dan berdaya secara mandiri.
Dharma Setyawan
Meskipun secara pribadi saya belum banyak kontribusi maksimal dalam pemberdayaan. Namun dari beberapa pengalaman selama ini saya ingin ber...