Oleh Dharma Setyawan
Directur Eksekutif Adzkiya' Centre
Sirkulasi atau perputaran uang suatu wilayah harus mengalir
tanpa hambatan. Ibarat aliran air, jika sebuah aliran terjadi penyumbatan
akibat dibendung atau oleh kotoran sampah, maka arus air itu akan meluap hanya
pada sekitar daerah tempat air itu macet. Akibatnya bisa bermasalah, jika air
itu digunakan untuk mengaliri sawah, maka sawah yang tidak mendapat bagian air
akan mengalami gagal panen akibat kurang air. Jika air itu adalah sungai di
pemukiman warga, maka akan terjadi banjir dan membuat pemukiman warga
tenggelam.
Pemahaman kita tentang air sama ketika kita persepsikan
dengan perputaran uang. Dalam sebuah tatanan masyarakat yang menjadikan uang
sebagai alat pertukaran barang dan jasa. Maka uang itu harus mengalir dengan
baik sehingga distribusi berjalan dengan baik. Jika uang tersebut berhenti pada
satu kelompok atau beberapa titik elit penguasa atau pengusaha tentu yang
terjadi adalah ketimpangan ekonomi akibat alat tukar yang memacetkan distribusi
kekayaan. Pihak yang menguasai uang dipartikan akan merugikan orang lain karena
tidak ada kesempatan pihak lain untuk tumbuh baik secara ekonomi. Masalah yang
muncul dan kita lihat secara jelas adalah perputaran uang yang sangat timpang
antara kota dan desa. Jamak kita ketahui, masyarakat desa adalah gambaran jelas
sebuah struktur masyarakat yang tidak mendapat kesempatan yang sama untuk mendapat
perputaran uang seperti halnya di kota. Sumber-sumber yang mampu menghasilkan
uang ada di dalam kota dan menghisap sumber-sumber uang yang ada di desa.
Jika kita menghampiri rumah-rumah penduduk di desa-desa.
Banyak kita temukan para penduduk memiliki kebun yang luas, tanah pekarangan rumah
yang luas, sawah yang luas, hewan ternak, tanaman sayuran dan buah-buahan dan
lainnya. Namun semakin-hari semakin berjalan kita melihat modal kekayaan itu
kian habis kian surut akibat diwariskan ke keturunana atau dijual akibat
kebutuhan yang semakin menghimpit di era modernism. Kita juga melihat modal
kekayaan yang mereka miliki tidak menjadikan kekayaan mereka bertambah secara
signifikan. Pertumbuhan mereka sangat lambat bahkan ada yang statis dan
berkurang kecuali sebagai besar mereka yang memiliki usaha perniagaan di kota.
Fenomena ini menjadi pertanyaan besar. Kemanakah uang mereka
mengalir sehingga semakin hari modal dalam bentuk barang mereka malah kian
berkurang. Francis Fukuyama pun menyebut era demokrasi ini bukan hanya modal
ekonomi yang terhisab tapi modal sosial masyarakat, namun juga kian mengalami
erosi. Pemerintah, Ulama, pendidik, organisai masyarakat ternyata belum cukup
untuk memberi solusi dengan gejala terhisabnya modal masyarakat di desa-desa.
Hampir setiap hari kita menemukan masyarakat desa menjual sawah, kebun bahkan
rumahnya akibat kebutuhan hidup yang menghimpit atau kebutuhan keturunan mereka
yang tidak mampu mengembangkan kekayaan desa menjadi kekayaan kemandirian
secara kolektif. Atau kebutuhan pendidikan anak menyebabkan orang tua berkorban
menjual modal ekonomi yang selama ini menjadi sumber ekonomi yang paling
fundamen.
Disisi lainnya, kita juga melihat era informasi menjadikan cara pandang
masyarakat kita cenderung pragmatis. Masyarakat disuguhi tontonan sinetron di televisi
yang serba konsumtif dan melambungkan imajiner mereka pada hal-hal yang elitis.
Generasi kita disuguhi tayangan gaya kehidupan artis-artis yang memerankan
kehidupan berjuis sampai pola kehidupan yang nir sosial. Generasi kita dibuat
terhipnotis, perlente dan lupa pada kehidupan rill mereka yang orang tuanya
masih dalam keadaan alitis (miskin). Hal ini tentu sangat berefek pada gejala
pemikiran pemuda yang sangat hedonis. Di lapangan setiap hari kita menyaksikan
dan mendengarkan seorang anak meminta paksa orang tua untuk memenuhi kebutuhan
borjuis ala artis televisi, mulai dari mobil, motor, hp dan lainnya. Anak-anak
yang masih duduk di bangku sekolah itu telah terhipnotis dengan hegemoni media
yang memberi thesis pragmatisme. Gaya kehidupan artis juga cepat menyebar ke
kalangan pemuda yang sebentar saja mode dapat berubah begitu cepat. Sekali lagi
Pemerintah, tokoh agama, pendidik dan organisasi masyarakat belum cukup untuk
mengantisipasi gejala konsumtif masyarakat kita yang diprovokasi oleh media.
Penulis sendiri menyaksikan bagaimana kehidupan masyarakat
di desa-desa semakin tergerus oleh para pemilik modal. Para petani kalah dengan
para tengkulak yang mempunyai modal uang. Petani kehilangan kreativitasnya
untuk mencari alternative lain selain hasil pertanian. Para pedagang warung
kelontongan di desa harus gulung tikar akibat budaya hutang masyarakat desa
yang menyebabkan keuangan modal warung macet. Di tambah lagi hadirnya toko-toko
berlabel mini market di desar-desa. Dan kepemilikannya di kuasai oleh
segelintir elit pemilik modal besar. Para pengrajin ketrampilan juga kesulitan
memasarkan produknya akibat birokrasi Pemerintah yang tidak benar-benar peduli
kepada masyarakat.
Para petani di desa tiap tahun panen tetapi uang dan hasil
panen tidak mereka miliki kalau pun hasil kita ketahui bersama untuk membayar
hutang mereka mulai dari hutang konsumsi dan modal bertani juga biaya sekolah
anak. Uang mereka terhisab oleh penguasa modal yang menjerat mereka pada
hutang. Hal ini mirip dengan yang digambarkan Soekarno tentang seorang rakyat
bernama “Marhaen”. Marhaen seorang petani di Jawa Barat yang memiliki alat-alat
produksi namun karena system yang tidak berpihak para rakyat kecil, hasil kerja
keras Marhaen mengalir ke kelompok capital yang menguasai hulu dan hilir arus
barang dan jasa karena memonopoli sirkulasi uang. Pertanyaan selanjutnya adalah
kemanakah uang-uang rakyat itu mengalir dan siapa pemonopoli uang dan kekayaan
itu?
Sungguh keadaan yang janggal, sebuah aliran uang yang
terhisab oleh sebuah system yang menyebabkan masyarakat tidak berdaya. Sebuah
kondisi dimana etos kerja nihil menghasilkan buah kerja. Si Marhaen bahkan bertambah
kian banyak dan bukan hanya menjadi Marhaen namun berevolusi menjadi kaum
proletar (miskin lemah) yang kelak kehilangan alat produksinya. Pasti ada yang
salah dari bentuk fenomena yang sedang terjadi ini. Sementara segelintir orang
menikmati kekayaan termasuk para pejabat Negara yang hidup dari hasil pajak
para Marhaen.
Aliran modal dan uang masyarakat setidaknya mengalir pada 3
sektor. Pertama, pemilik modal (korporasi
capital). Kedua Bank Konvensional. Ketiga Pemerintah (birokrasi/pejabat
abadi). Pada sektor pemilik modal, uang rakyat antara lain terdiri dari petani,
pedagang, pengrajin, buruh dan lainnya mengalir deras ke pemilik modal. Para
pemilik modal ini masuk dalam jantung ekonomi masyarakat dan menjerat mereka
dengan system hutang yang begitu masif. Para pemilik modal juga dapat memecah
ke dalam struktur tengkulak (tukang ijon), rentenir, dan para pedagang besar
yang dapat menentukan harga secara sepihak. Kita masih mengingat pabrik-pabrik
penggilingan padi dikuasai oleh segelintir elit Cina yang mudah mendapat
pinajaman modal dari pemerintah Orde Baru Soeharto. Penulis sejak kecil masih
mengingat kuat bagaimana Cina menjadikan para masyarakat pribumi Indonesia
sebagai buruh di pabrik-pabrik. Setelah waktu ke waktu penulis memahami bahwa
pendirian Pabrik tersebut adalah hasil pinjaman para etnis Cina ke Bank atas
kebijakan Soeharto yang sangat memihak mereka waktu itu. Kini pasca tumbangnya
rezim Soeharto beberapa pabrik ada yang masih kokoh di desa-desa dan ada yang
gulung tikar mendapat perlawanan dari penggilingan yang dibangun pribumi. Namun
di kota-kota besar prabik-pabrik yang dikuasai Cina masih berdiri kokoh sampai
hari ini.
Pada sektor kedua Bank Konvensional. Bank adalah badan yang
menampung uang sebagai alat pertukaran manusia. Bank adalah penyedia jasa untuk
mensirkulasikan uang agar dapat menjadi pihak yang mendistribusikan uang guna
menumbuhkan ekonomi pada wilayah Negara. Namun peran Bank kemudian berubah
menjadi badan keuangan yang dimiliki oleh segelintir kelompok. Bank mudah
didirikan dan pada akhirnya fenomena macetnya sirkulasi uang ke masyarakat
menjadi parmasalahan yang fatal. Masyarakat pada umumnya percaya bahwa uang
mereka aman di simpan di Bank-Bank. Para masyarakat menengah ke atas memang
sangat bergantung dengan Bank. Namun untuk kita ketahui rakyat sebagai
mayoritas menjadi korban dari perlakuan Bank yang tidak adil membangun distribusi
uang secara lebih baik. Rakyat kesulitan untuk meminjam kepada Bank-Bank besar
di negeri ini. Selain kendala administrasi yang rumit juga agunan harta seperti
Tanah dan sawah sangat berisiko menjadi jaminan yang jika usaha masyarakat
gagal agunan terkorbankan. Pada intinya Bank-Bank konvensional di Indonesia
adalah alat penghisab modal rakyat dan susah kembali untuk berputar di sekitar
aliran ekonomi masyarakat kecil. Uang rakyat itu mengalir naik deras ke Bank
tapi mampet turun ke hilir ekonomi rakyat. Koperasi yang di idam-idamkan memberi
solusi rakyat malah di jadikan kepentingan politik para penguasa. Alat
penghisab modal ini masih kita percaya untuk merampok secara systemik uang desa
berpindah ke kota.
Sektor ketiga adalah Pemerintah. Pemerintah sebagai
birokrasi, pejabat politik dan pemilik regulasi kecolongan dengan keadaan yang
membuat rakyat semakin terhimpit. Pemerintah belum sampai menyadari dan merubah
keadaan desa yang kekurangan alat tukar uang. Pasar tradisional dibiarkan
terbengkalai sebaliknya mini market dibiarkan berjamuran di desa-desa.
Masyarakat memang tidak mungkin menyadari tanpa meneliti dan menelisik lebih
dalam tentang kesalahan systemik ini. Pemerintah harus memberi kesempatan
kepada rakyat untuk mengelola kekayaan desa agar tidak terhisab oleh kekuatan
modal di kota. Sedangkat alat produksi di desa masih tetap bekerja namun
kekayaan desa mengalir ke kota sampai desa tersebut defisit anggaran untuk
memulai produksi pertanian sebagai modal pangan Indonesia. Kerajinaan
masyarakat desa sebagai bentuk budaya dan ketrampilan dalam negeri juga nihil
dilindungi oleh Pemerintah. Produk luar negeri lebih diminati oleh rakyat
akibat media kita yang menawarkan makanan, pakaian, dan produk luar negeri.
Kita perlu menawarkan solusi kecil bagi penyelamatan kekayaan
desa agar tidak mengalir ke kota. Tabungan desa harus dibangun dengan mendukung
hadirnya koperasi syariah di Desa. Dengan begitu rakyat desa tidak perlu
memohon kepada Bank-Bank di kota untuk memberi pinjaman modal bagi mereka.
Rakyat yang mau melawan secara kerjasama dan gotong royong kesadaran akan mampu
membangun kemandirian. Kita tidak mungkin akan terus melawan pemerintah yang
tidak memahami gejala yang terjadi. Kita perlu membangun kesadaran secara
internal dari masyarakat bahwa tabungan mereka di Bank adalah salah satu bentuk
memberikan andil kekayaan bagi para elit. Masyarakat faktanya tidak dapat
mengakses modal mereka sejak puluhan tahun negeri ini merdeka. Masyarakat harus
membangun bank-bank lokal sendiri sebagaimana dilakukan oleh Grameen Bank yang
dilakukan Muhammad Yunus di Banglades. Grameen Bank hadir di desa-desa di
Banglades dan menyelamatkan asset rakyat. Merekalah yang memiliki bank-bank
kecil itu bukan sekelompok modal yang membawa uang itu macet di kota. Dengan itu
maka modal di desa dapat dijadikan modal untuk membangun produksi pertanian dan
kerajinan di desa. Sebagaiman Ibnu Khaldun mengatakan tidak ada cara lain yang
paling efektif mambangun ekonomi bersama yaitu dengan terus berproduksi. Dengan
memberi kesempatan desa untuk murah berproduksi maka kota akan tetap untung
sebagai tempat bertemunya para pedagang berjual beli.
Oleh Dharma Setyawan Directur Eksekutif Adzkiya' Centre Sirkulasi atau perputaran uang suatu wilayah harus mengalir tanpa ham...