Oleh : Dharma Setyawan
Dosen STAIN Metro, Penggiat
Diskusi Kamisan Cangkir,
Terbit Kamis 16 Oktober 2014
“Yang dilarang dari umat Islam bukan perbedaan
pendapat tapi perpecahan” (Gus Dur)
Melihat
fenomena kekerasan di dunia pendidikan akhir-akhir ini kita semakin sadar
pendidikan adalah bagian kekerasan struktur. Penyiksaan yang dialami siswi SD
Sumatra Barat oleh beberapa temannya adalah kekerasan yang bisa jadi adalah
fenomena gunung es. Sekolah hari ini adalah penjara-penjara baru bagi mereka
yang sedang tumbuh kreatifitasnya. Sekolah bahkan menjadi tempat penyeragaman
dimana keberagaman sulit diakui. Mereka-mereka yang tumbuh berbeda dan
melenceng dari arus kurikulum negara tidak layak untuk menjadi peserta didik
yang baik. Contoh nyata, sekolah cenderung menjadi perlombaan nilai angka 10
dan ranking ke-1 dalam sudut mata pelajaran matematika. Matematika dalam arti
kejujuran, toleransi, tolong menolong dilihat sebagai bentuk untung rugi.
Matematika bahkan tidak diajarkan secara benar dalam arti membentuk hidup yang saling
menambah mutu. Malah matematika selalu dianggap sebagai kalkulasi kehidupan
yang sangat pragmatis, culas, sampai hedonis. Saling tikam, saling telikung,
saling meng-kapital adalah matematika darwinisme—organism struggle . Sulit
ditemukan ajaran matematika untuk saling berbagi, saling manambah sehingga
dapat saling menguntungkan.
Sekolah
Toleransi?
Membaca
Lampung Post (28/09) tentang Sekolah Toleransi menarik untuk diperbincangkan.
Mengingat kebe-ragam-an dan keber-agama-an kita masih terus muncul permasalahan
di akal rumput. ‘Lampung’ sering menjadi sorotan nasional terkait dengan
konflik etnis dan agama yang sesekali menyeruak. Sebagai alumni SMA 1
Kotagajah—sekolah yang ditunjuk sebagai percontohan sekolah toleransi—penulis merasakan
pengalaman hidup 3 tahun di sekolah tersebut. SMA N 1 Kotagajah terletak di
tengah dua gereja, yaitu Gereja Katolik dan Protestan. Siswa yang belajar di
SMA tersebut bermacam suku mulai Lampung, Bali, Jawa, Batak, Cina, Sunda dan
beberapa ras campuran. Agama siswa juga bermacam-macam Islam, Kristen Katolik,
Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu. Yang menarik adalah dari sekian macam
keragamaan dan keberagamaan warga SMA 1 Kotagajah--yang terletak di Kabupaten
Lampung Tengah ini—belum pernah terdengar media meliput tentang konflik fatal
terkait bentrok etnis dan agama. Siswa di sekolah ini lebih dikenal sebagai
kumpulan seleksi anak-anak berprestasi di sekolah-sekolah SMPse-kabupaten
Lampung Tengah.
Sekolah
Toleransi yang menjadi berita menarik di media Lampung, bahkan dengan adanya
konflik yang selama ini muncul, perlu untuk segera melaksanakan program sekolah
toleransi tersebut. Acapkali kita meremehkan makna toleransi dalam bingkai ke
Indonesiaan kita. Sejak Orde Baru, rakyat telah kenyang mengunyah otoritarianisme
dalam kabut gelap rezim militer. Semua orang dipaksa oleh negara untuk tunduk
kepada semua aturan-aturan baku yang sangat strukturalis. Setelah reformasi
kita dihadapkan pada kebebasan berekspresi yang sangat frontal dan bahkan lebih
masif, jika dibandingkan dengan negara-negara di wilayah Asia lainnya. Konflik
agama khususnya, dibuat sedemikian akut menjadi alasan teologis untuk
melegetimisasi sikap anti-toleran dalam kehidupan sehari-hari. Padahal negara
telah menjamin kebebasan beragama sesuai pasal 29 ayat 2 UUD 1945 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadatmenurut agamanya dan
kepercayaannya itu”.
Gusdur dan Ajaran Toleransi
Sekolah
Toleransi penting untuk membangun karakter bangsa. Dengan hadirnya ajaran
toleransi di sekolah-sekolah. Guru, Kurikulum, dan Pelajar itu sendiri dapat
memahami makna pluralitas sebagai sesuatu yang “teken for granted”. Tidak bisa kita memaksakan kesamaan identitas
dalam kemanusiaan kita. Agama, suku, budaya dan segala bentuk perbedaan yang
ada harus dipahami sebagai sebuah kekayaan keragaman bangsa ini. Proses-proses
dialektika agama misalnya, masih dianggap satu ancaman bagi kelompok satu dan
lainnya.
Pasca
Gus Dur banyak orang yang mulai sadar pentingnya menjaga toleransi di tengah
keragaman agama, budaya, dan suku di Indonesia. Tokoh-tokoh pun ‘latah’ membawa
misi bermacam-macam dengan menggaungkan toleransi di tengah berkecamuknya sikap
main hakim sendiri. Pada tataran elit, kita melihat toleransi itu baru sebatas
menghargai visi dan misi kekuasaan. Toleransi mereka memusat pada pudarnya
ideologi, tapi yang jelas—para elit politik—sangat toleran terhadap hegemoni asing
yang mengacak-acak ekonomi dan martabat kebudayaan Indonesia. Pada kalangan
pemikir toleransi masih sebatas permukaan baju, cara berfikir mereka lebih
banyak kehilangan kesadaran menggali kembali kekayaan ‘local genius’ yang beratus-ratus tahun dimiliki nusantara, bahkan
mereka sangat permisif dengan ide-ide asing yang membingungkan rakyat kita. ‘Tegas’
ini adalah sikap permisif bukan sikap toleransi!
Pada
kalangan agama toleransi nyaris di ujung tanduk, permasalahan yang muncul bukan
semakin tumpul malah semakin meruncing seiring dengan hadirnya aliran-aliran
yang bermacam-macam dan semakin menumbuhkan konflik yang kian parah. Di
generasi muda toleransi itu kian ‘tiarap’ bahkan menghilang. Dengan fakta semakin
banyak tawuran pelajar di jalanan dan aksi brutal demo-demo yang berbuntut
kerusakan fasilitas umum.
Gusdur
memberi tauladan untuk terus melakukan dialog antara ilmu spirit dengan ilmu
materi yang harus termanifestasi dalam kehidupan. Baginya, kehidupan merupakan
kemampuan menghubungkan spirit Ketuhanan dengan tindakan, namun dalam
pelaksanaannya harus disertai dengan kesabaran, demi terhindarnya kekerasan
yang akan menodai harkat kemanusiaan. Dalam istilahnya, dalam kehidupan harus
selalu mencari keseimbangan antara “normatif (ajaran agama)” dengan “kebebasan
berpikir”(Gus Dur: 1999).
Kekerasan
yang menjadi masalah serius bangsa ini, dicerna Gus Dur dengan wacana-wacana
non-mainstream. Gusdur membangun logika terbalik, tentang agama yang harusnya
membawa kedamaian. Toleransi adalah tradisi Gus Dur yang genial tidak hanya
dalam tataran pemikiran tapi menjadi laku Gus Dur dalam transformasi humoris
“gitu aja kok repot”. Gus Dur seolah menebak masa depan zaman untuk tidak
menggunakan agama sebagai sikap emosional. Wajah agama yang garang
direkonstruksi menjadi konsep berfikir yang egaliter. Sebagaimana tradisi Hasan
Hanafi “Al turast wa al tajdid”,
pemikiran Gusdurian—gerakan penerus pemikiran Gus Dur—kemudian mengibarkan
panji intelektual ‘Menggerakkan Tradisi
Meneguhkan Indonesia’. Gus Dur seakan optimis spirit agama akan menjaga
tradisi-tradisi baik dan juga terbuka terhadap modernisme. Dengan ini
toleransi—keterbukaan pemikiran—menjadi jalan terbaik untuk memberi kesempatan
siapapun menemukan kebenaran atas sikap membangun pelestarian kebudayaan dan
pembaharuan pemikiran. Kita harus optimis sebagaimana Gus Dur telah memulai.
Oleh : Dharma Setyawan Dosen STAIN Metro, Penggiat Diskusi Kamisan Cangkir, Terbit Kamis 16 Oktober 2014 “Yang dilarang dar...